Jumat, 04 November 2016

Makalah Perekonomian Indonesia : Pemanfaatan Pasar Bebas dalam Meningkatkan Perekonomian Daya Saing



TUGAS MATAKULIAH

Perekonomian Indonesia

Judul :
Pemanfaatan Pasar Bebas Dalam Meningkatkan Perekonomian
Daya Saing

oleh :
(Kelompok 2)
 
1.    Damayanti
2.    Marwiyah
3.    Nunu Nugraha
4.    Rani Kusriani
5.    Sunarni





Dosen  Pengampu
Dr. Budi Supriyatno, MM., MSi.


FAKULTAS EKONOMI
SEMESTER 5 / PAGI
UNIVERSITAS SATYAGAMA
JAKARTA



Kata Pengantar
                                                                        
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan hidayahNya yang diberikan kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan  makalah ini yang berjudul “Pemanfaatan Pasar Bebas Dalam Meningkatkan Perekonomian Daya Saing” dengan baik.
 Penyelesaian makalah ini tidak terlepas dari bantuan teman-teman dan berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan rasa hormat yang mendalam saya  menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Budi Supriyatno, MM., MSi. selaku dosen, yang telah memberikan saya wawasan lebih tentang Perekonomian Indonesia dan teman-teman yang telah membantu berpartisipasi dalam menyelesaikan makalah ini.
           Makalah ini merupakan tugas mata kuliah Perekonomian Indonesia. Dalam makalah ini saya akan membahas tentang Pemanfaatan Pasar Bebas Dalam Meningkatkan Perekonomian Daya Saing. Selain sebagai tugas, saya membuat makalah ini tentunya dengan besar harapan dapat bermanfaat bagi semua orang baik para pembaca dan juga generasi–generasi berikutnya maupun diri sendiri dan semoga makalah ini juga bisa dijadikan sumber ilmu bagi kita semua. Amin.

            Namun tidak menutup kemungkinan makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh kerena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan, tentunya untuk kepentingan proses peningkatan cakrawala berfikir kita bersama dalam memahami Perekonomian Indonesia. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.


Jakarta, Oktober 2016


           Kelompok 2




Daftar Isi

Kata pengantar
Daftar isi

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A.  Latar belakang..............................................................................................1
B. Masalah.........................................................................................................1
C. Maksud dan Tujuan.......................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
            A.    Pengertian Daya Saing................................................................................3
            B.     Potret Daya Saing........................................................................................5
            C.     Peningkatan Daya Saing Ekonomi dan Peran Birokrasi.............................10  
            D.    Implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).................................16
            E.     Pro-kontra Pasar Bebas ASEAN (MEA) di Indonesia................................21

BAB III PENUTUP................................................................................................26  
            A.    Kesimpulan.................................................................................................26
            B.     Saran...........................................................................................................27

Daftar Pustaka.........................................................................................................28





BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Secara garis besar, persatuan pasar di antara negara-negara anggota ASEAN ini serupa dengan konsep Uni Eropa, hanya berbeda pada kebijakan moneternya, seperti kebijakan dalam mata uang. MEA juga menjamin kebebasan perputaran modal serta perdagangan dengan negara-negara non-ASEAN, tidak hanya berkutat dalam perputaran modal antar anggota-anggota ASEAN saja.

Terwujudnya sistem pasar bebas ini berarti Indonesia harus siap untuk menghadapi persaingan antar negara anggota. Dalam hal ini, tidak hanya pemerintah, tetapi juga masyarakat. Peran pemerintah dalam membentuk regulasi dan perundang-undangan tentang masalah investasi dan kompetisi usaha harus diperkuat.

Kebijakan yang diambil pemerintah akan jadi penentu kemenangan, atau kekalahan, Indonesia dalam era kompetisi yang semakin ketat.
Di lain pihak, pemerintah juga harus memfasilitasi masyarakat dalam mendorong pertumbuhan kualitas barang dan jasa. Pemerintah juga harus menyadari bahwa tanpa peran masyarakat, terutama pelaku bisnis, Indonesia akan sulit untuk bersaing dengan negara-negara anggota lainnya. Apalagi, negara-negara tetangga Indonesia merupakan pemain besar di bidang ekonomi global, seperti Malaysia dan Singapura.

  1. Masalah

1.      Apa itu daya saing?
2.      Bagaimana pasar bebas di Indonesia ?
3.      Apakah ada hubungannya pasar bebas dengan perekonomian Indonesia?

  1. Maksud dan Tujuan
            Tujuan dari penulisan ini agar dapat memahami suasana dan arah daya saing Negara Indonesia terhadap Negara-negara maju. Dengan adanya mekanisme yang baik dan tepat pada sasaran paling tidak dapat meningkatkan peran perekonomian dan pembangunan indoneisia di mata internasional.

                      Tujuan lain dari penulisan ini juga agar dapat menambah wawasan masyarakat dalam mewujudkan kehidupan yang adil, makmur dan beradap atas dasar Undang-Undang Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, tertib, bersahabat, bersatu, aman, damai dan sejahtera.
  


BAB II
PEMBAHASAN


A.     Pengertian Daya Saing

Daya saing merupakan proses untuk pencapaian sebuah tujuan yang lebih baik kedepan dalam meningkatkan pertumbuhan dan pendapatan sebuah Negara. Daya saing menurut Michael Porter (1990) adalah produktivitas yang didefinisikan sebagai output yang dihasilkan oleh tenaga kerja. Menurut World Economic Forum, daya saing nasional adalah kemampuan perekonomian nasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Daya saing menurut Pusat Studi dan Pendidikan Kebanksentralan Bank Indonesia (2002) harus mempertimbangkan beberapa hal:

1. Daya saing mencakup aspek yang lebih luas dari sekadar produktivitas atau efisiensi pada level mikro. Hal ini memungkinkan kita lebih memilih mendefinisikan daya saing sebagai “kemampuan suatu perekonomian” daripada “kemampuan sektor swasta atau perusahaan” Pelaku ekonomi atau economic agent bukan hanya perusahaan, akan tetapi juga rumah tangga, pemerintah, dan lain-lain. Semuanya berpadu dalam suatu sistem ekonomi yang sinergis. Tanpa memungkiri peran besar sektor swasta perusahaan dalam perekonomian, fokus perhatian akan diperluas, tidak hanya terbatas akan hal itu saja dalam rangka menjaga luasnya cakupan konsep daya saing.
2. Tujuan dan hasil akhir dari meningkatnya daya saing suatu perekonomian tak lain adalah meningkatnya tingkat kesejahteraan penduduk di dalam perekonomian tersebut.

Kesejahteraan atau level of living adalah konsep yang maha luas yang pasti tidak hanya tergambarkan dalam sebuah besaran variabel seperti pertumbuhan ekonomi.  Pertumbuhan ekonomi hanya satu aspek dari pembangunan ekonomi dalam rangka peningkatan standar kehidupan masyarakat.Kata kunci dari konsep daya saing adalah kompetisi. Disinilah peran keterbukaan terhadap kompetisi dengan para kompetitor menjadi relevan. Kata daya saing menjadi kehilangan maknanya pada suatu perekonomian yang tertutup.
Menurut Michael Porter (1990), pada dasarnya ada 4 (empat) faktor yang mempengaruhi daya saing suatu negara, yaitu:
1.      Strategi, Struktur, dan Tingkat Persaingan Perusahaan, yaitu bagaimana unit-unit usaha di dalam suatu negara terbentuk, diorganisasikan, dan dikelola, serta bagaimana tingkat persaingan dalam negerinya.
2.      Sumber Daya di suatu Negara, yaitu bagaimana ketersediaan sumber daya di suatu negara, yakni sumber daya manusia, bahan baku, pengetahuan, modal, dan infrastruktur. Ketersediaan tersebut menjadi penentu perkembangan industri di suatu negara. Ketika terjadi kelangkaan pada salah satu jenis faktor tersebut maka investasi industri di suatu negara menjadi investasi yang mahal. 
3.      Permintaan Domestik, yaitu bagaimana permintaan di dalam negeri terhadap produk atau layanan industri di negara tersebut. Permintaan hasil industri, terutama permintaan dalam negeri, merupakan aspek yang mempengaruhi arah pengembangan faktor awalan keunggulan kompetitif sektor industri. Inovasi dan kemajuan teknologi dapat terinspirasi oleh kebutuhan dan keinginan konsumen.
4.       Keberadaan Industri Terkait dan Pendukung, yaitu keberadaan industri pemasok atau industri pendukung yang mampu bersaing secara internasional. Faktor ini menggambarkan hubungan dan dukungan antar industri, dimana ketika suatu perusahaan memiliki keunggulan kompetitif, maka industri-industri pendukungnya juga akan memiliki keunggulan kompetitif.

Porter mencontohkan Italia sebagai negara yang menerapkan hal tersebut. Italia tidak hanya sukses dalam industri sepatu dan kulit, namun juga telah berhasil mendorong industri pendukungnya seperti desain kulit, serta pengolahan kulit sepatu untuk berkembang sejalan dengan perkembangan industri sepatu dan kulit.

Keempat komponen yang disebut sebagai model Porter’s Diamond tersebut mengkondisikan lingkungan di mana perusahaan-perusahaan berkompetisi dan mempengaruhi keunggulan daya saing suatu bangsa. Analisis tersebut menyatakan bahwa pemerintahan suatu negara memiliki peran penting dalam membentuk ekstensifikasi faktor-faktor yang menentukan tingkat keunggulan kompetitif industri suatu negara. Hal ini diperjelas dengan adanya 2 (dua) variabel tambahan yang mempengaruhi daya saing, yaitu:
1.      Kesempatan, yaitu perkembangan yang berada di luar kendali perusahaan-perusahaan (dan biasanya juga di luar kendali pemerintah suatu bangsa), seperti misalnya penemuan baru, terobosan teknologi dasar, perkembangan politik eksternal, dan perubahan besar dalam permintaan pasar asing.
2.      Pemerintah, yakni pemerintah pada semua tingkatan pemerintahan dapat meningkatkan atau memperlemah keunggulan nasional. Peran pemerintah terutama dalam membentuk kebijakan yang mempengaruhi komponen-komponen dalam Diamond Porter. Misalnya, kebijakan anti-trust mempengaruhi persaingan nasional. Regulasi dapat mengubah faktor permintaan (misalnya regulasi terkait subsidi BBM). Kebijakan pemerintah yang mendukung pendidikan dapat mengubah kondisi faktor produksi. Belanja pemerintah dapat merangsang industri terkait dan pendukung.

B.     Potret Daya Saing

B.1 Potret Daya Saing Indonesia

Kekuatan daya saing merupakan tatanan yang harus dibenahi dengan baik oleh bangsa Indonesia, untuk menciptakan indonesia yang adil makmur dan beradap di mata internasional.
                                              Tabel B. 1 Rangking Daya Saing Indonesia Dalam Negeri   
Negara
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
USA
1
1
1
1
1
1
1
Singapura
2
3
8
4
2
3
3
Malaysia
26
28
24
21
16
28
23
Korea
29
29
29
37
35
29
38
Jepang
21
23
27
25
23
21
17
Cina
24
26
28
29
24
31
19
Thailand
31
34
31
30
29
27
32
Indonesia
43
46
47
57
58
59
60
                                             Sumber: IMD World Competitiveness Yearbook (WCY)


Dari table B.1 tersebut menunjukkan bahwa sikap dan aplikasi pemebangunan dan perekonomian Indonesia masih di anggap lemah dalam tatanan global, yang yang seharusnya proses tersebut terus meningkat namun kenyataannya hanya naik-turun, factor inin disebabkan oleh berbagai sektor, antaranya:

1. Nilai Inti Pembangunan
Permasalahan utama dalam pembangunan ekonomi Indonesia adalah kualitas SDM. Rendahnya kualitas SDM menyebabkan rendahnya daya saing global bangsa Indonesia. Daya saing bangsa yang kuat menurut pendapat dari Todaro (1998), apabila nilai inti pembangunan Indonesia dapat dipenuhi: sustenance (kemampuan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan dasar), freedom (kemerdekaan, kebebasan dari sikap menghambat), self esteem (jati diri) dan tersedianya banyak pilihan.
Rendahnya Kulaitas SDM ini pada dasarnya sangat mengakar pada keterpukan nilai-nilai pendidikan yang berkulitas. Lemahnya tatanan pendidikan tersebut menyebabkan bangsa Indonesia terus terpuruk dalam kemiskinan dan tertinggal dalam pembangunan seperti yang diharapkan.

2. Kolonialisme dan Inferiorisme
Rendahnya kualitas SDM akibat pembodohan terstruktur sejak berabad-abad lamanya. Tahun 2006 Human Development Index (HDI) Indonesia hanya menduduki rangking 69 dari 104 negara. Penjajahan selama lebih dari 3,5 abad menjadikan bangsa Indonesia inferior dan selalu pasrah pada keadaan, rendah diri dan tidak kreatif. Kalaupun mau berusaha, cukup puas hanya pada tataran pencapaian rata-rata (mediocore achievement). Perkembangan kualitas SDM Indonesia tidak terlepas dari sejarah intervensi pemerintah dalam dunia pendidikan.
Pada masa kolonialisme, penduduk sengaja dibuat bodoh dengan hanya mengizinkan anak orang-orang yang pro-pemerintah colonial yang dapat bersekolah. Hasilnya mayoritas penduduk Indonesia buta huruf (il-literate) dan bermental rendah (inferior). Pada masa orde lama hingga orde baru pendidikan tidak pernah mendapatkan prioritas dalam program pembangunan nasional.

3. Sumber Daya Alam
Perekonomian Indonesia tidak bisa menggantungkan daya saingnya dari keunggulan komparatif apalagi hanya dengan mengeksploitasi sumber daya alam yang tidak terbarukan. Saat ini stok sumber daya alam tidak terbarukan seperti minyak bumi, gas, maupun batubara Indonesia telah menipis. Demikian juga sumber daya alam yang dapat diperbarui juga telah banyak rusak dan membutuhkan waktu yang amat lama untuk dapat dikembalikan kepada keadaan semula. Rusak dan gundulnya hutan telah menjadi isu yang cukup memprihatinkan. Bahkan kerusakan alam yang demikian parahnya justru menyebabkan bencana lain muncul, seperti tanah longsor dan banjir, yang menambah terpuruknya daya saing perekonomian Indonesia.

4. Teknologi
Indeks teknologi ini diukur antara lain dari posisi negara bersangkutan dalam penguasaan teknologi dibandingkan negara-negara maju, inovasi bisnis, pengeluaran untuk riset dan pengembangan (R&D), serta kolaborasi dengan perguruan tinggi setempat dalam R&D. Sementara, indeks transfer teknologi diukur dari tingkat alih teknologi oleh investor asing, baik melalui penanaman modal langsung maupun pemberian lisensi untuk teknologi asing.
Dalam hal penguasaan teknologi Indonesia juga masih kalah dibandingkan dengan Negara tetangga, meskipun Indonesia memiliki cadangan sumber daya alam yang cukup untuk membuat industry teknologi sendiri. Hal ini disebabkan karena kualitas SDM Indonesia yang kurang diberdayakan untuk memajukan sector teknologi.

5. Iklim Usaha
Variabel situasi makroekonomi meliputi sejumlah komponen, yakni stabilitas makroekonomi, peringkat utang negara dan belanja pemerintah. Untuk stabilitas makroekonomi, Indonesia peringkat ke-45. Sementara, untuk peringkat utang, Indonesia urutan ke-74, dan belanja pemerintah urutan ke-19. Sementara, MCI yang dikembangkan Michael E Porter mengukur daya saing fundamental secara komparatif, dengan menggunakan indikator-indikator mikroekonomi seperti operasi dan strategi perusahaan, serta kualitas iklim usaha di dalam negeri pada negara bersangkutan.

Kualitas iklim usaha di sini meliputi antara lain kualitas infrastruktur fisik, infrastruktur administratif, sumber daya manusia, infrastruktur teknologi, pasar modal, kondisi permintaan, ada-tidaknya industri terkait dan industri pendukung, ada-tidaknya insentif usaha dan persaingan (struktur pasar). Hingga saat ini iklim usaha di Indonesia belum dapat dikatakan kondusif. Kurangnya kepercayaan pihak asing menyebabkan larinya para investor asing ke luar negeri. Buruknya iklim usaha di Indonesia tercermin dari kompleks dan berbelit-belitnya birokrasi. Sistem perizinan dengan prosedur yang panjang membuat para investor harus mengeluarkan dana ekstra untuk memangkas birokrasi dengan cara-cara yang tidak terpuji seperti suap.

Sarana infrastruktur yang buruk, seperti rusaknya jalan-jalan sangat menghambat aktivitas perekonomian. Hal ini memberikan gambaran buruk bagi para investor bahwa pajak yang mereka bayarkan kepada Negara tidak memberikan imbal balik bagi kelangsungan usaha mereka.

6. Industri Manufaktur
Industri manufaktur boleh jadi merupakan sosok yang paling menggambarkan problematika perekonomian Indonesia dewasa ini. Di era dunia datar (flat world) yang dipicu oleh globalisasi dan liberalisasi, industri manufaktur berada di lini terdepan dalam pertarungan menghadapi persaingan mondial. Hal ini disebabkan industri manufaktur merupakan satu dari tiga sektor tradables. Dua sektor lainnya ialah pertanian serta pertambangan & galian. Sesuai dengan namanya, produk-produk yang dihasilkan sektor tradables diperdagangkan secara bebas, baik di pasar internasional maupun pasar domestik.

Untuk menembus pasar internasional, produk-produk sektor ini harus berhadapan dengan produk-produk serupa dari negara-negara lain; sementara itu untuk memperoleh tempat di pasar domestik, produk-produk ini harus mumpuni menghadang penetrasi barang-barang sejenis yang diimpor. Di antara sektor tradables sendiri, industri manufakturlah yang paling keras menghadapi persaingan. Karena karakteristik alamiahnya, derajat mobilitas produk-produk manufaktur lebih tinggi ketimbang produk-produk pertanian dan pertambangan.

Sekedar perbandingan, sektor-sektor yang tergolong non-tradables, yang terdiri dari sektor jasa (dalam artian luas, meliputi juga konstruksi dan utilitas), praktis tak menghadapi persaingan head to head di pasar domestik. Misalnya: sektor listrik, gas, dan air bersih; komunikasi, pendidikan, rumah sakit, dan jasa angkutan.
Mengingat intensitas perdagangannya sangat tinggi, industri manufaktur menghadapi hampir segala persoalan di hampir semua “medan laga”, baik di lingkungan internal, industri maupun eksternal. Juga terkena imbas langsung dari persoalan-persoalan yang dihadapi di lingkup pasar domestik mapun pasar internasional.
Tingkat efisiensi dan produktivitas yang tinggi di tingkat perusahaan semata tak bisa menjamin keberhasilan seandainya faktor-faktor eksogen tak mendukung, misalnya: kualitas infrastruktur yang buruk, korupsi dan pungutan liar, birokrasi yang bobrok, kerangka institusi yang lemah, kualitas sumber daya manusia yang rendah, serta risiko bisnis dan politik yang tinggi.

B.2 Potret Daya Saing Global

Daya Saing Global menurut Executive Summary WEF adalah kemampuan nilai tukar mata uang suatu Negara (exchange rate) mempengaruhi produktivitas nasional. Daya saing diartikan sebagai akumulasi dari berbagai factor, kebijakan dan kelembagaan yang memepengaruhi produktivitas suatu Negara sehinggan akan emenetukan tercapainya kesejahteraan rakyat dalam system perekonomian nasional.Produktivitas adalah penentu utama tingkat ROI (return on Investment) dan agregasi pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian semakin kompetitif daya saing sebuah system perekonomian maka pembangunan akan tumbuh lebih cepat dalam waktu menengah dan panjang.

Daya saing juga dapat dilihat dari kebijakan makroekonomi. Pada era orde baru, pertumbuhan ekonomi cukup tinggi (7-9%), namun karena terjadi salah kelola (mismanaging) dan salah arah kebijakan (misguiding) public finance dengan diberlakukannya DFI (Direct Foreign Investment) sehingga pada saat krisis akibatnya Negara yang menanggung Utang pihak swasta. Faktor-faktor lain sebagai penentu daya saing global diantaranya: kesempatan berusaha, system peradilan yang fair, pajak yang bermanfaat, birokrasi, inovasi teknologi dan pendidikan, hubungan internasional dan hak cipta. Terjadinya pergantian pemerintahan, kerusakan Infrastruktur (akibat banyaknya bencana alam, tsunami, gempa bumi, dan banjir) dan hancurnya pasar uang menyebabkan daya saing perekonomian Indonesia terpuruk.

B.3 Awal Mulanya Jatuh Daya Saing Indonesia Dari Negara-Negara Maju
Indonesia mengalami kemunduran luar biasa dalam melahirkan perusahaan dan industry kelas dunia. Globalisasi yang telah menjadi kemestian adalah arena yang akan menghukum mereka yang tidak siap dan tidak tanggap seperti bangsa kita terhadap fenomina ini. Persoalan peningkatan daya saing ekonomi ini adalah persoalan serius yang mesti diperhatikan dalam mendesain program pemulihan ekonomi kita ke depan.

Daya saing yang buruk menyebabkan sebuah perekonomian sangat rentan terhadap gejolak eksternal dan karenanya mudah sekali didera krisis yang berkepanjangan. Sebaliknya jika daya saing sebuah perekonomian baik, perekonomian akan mampu segera pulih dari krisis bahkan bangkit kembali untuk menjadi perekonomian yang tangguh dan terhormat. Bukti empiris memang menunjukkan bahwa Negara-negara segera bangkit perekonomiannya adaah Negara-negara yang daya saing ekonominya terus membaik, contohnya Malaysia dan Jepang.

Membangun ekonomi bukanlah persoalan sederhana. Ia harus ditunjang industrial base yang tangguh, sayangnya untuk Negara kita yang terjadi bukanlah sebuah proses re-industrialisasi yang lebih terencana dan terfokus untuk menangguhkan fondasi ekonomi dan kemudian berangsur-angsir pulih, tetapi sebuah proses yang kini populer dengan sebutan de-industrialisasi. Hal ini menegaskan bahwa perekonomian Indonesia memang memiliki potensi serius untuk terus berjibaku dalam krisis berkepanjangan yang tak berujung.


C.     Peningkatan Daya Saing Ekonomi dan Peran Birokrasi

Dinamika perkembangan ekonomi global akhir-akhir ini memberikan  sinyal akan pentingnya peningkatan daya saing, di tingkat regional, Indonesia akan dihadapkan dengan implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), yang pelaksanaannya akan dimulai pada tanggal 31 Desember 2015.

MEA akan menjadi tantangan tersendiri bagi Bangsa Indonesia dengan transformasi kawasan ASEAN menjadi pasar tunggal dan basis produksi, sekaligus menjadikan kawasan ASEAN yang lebih dinamis dan kompetitif. Pemberlakuan MEA  dapat pula dimaknai sebagai harapan akan prospek dan peluang bagi kerjasama ekonomi antar kawasan dalam skala yang lebih luas, melalui integrasi ekonomi regional kawasan Asia Tenggara, yang ditandai dengan  terjadinya arus bebas (free flow) : barang, jasa, investasi, tenaga kerja, dan modal.
Dengan hadirnya ajang MEA ini, Indonesia sejatinya memiliki peluang untuk memanfaatkan keunggulan dengan meningkatkan skala ekonomi dalam negeri,  sebagai basis memperoleh keuntungan, dengan menjadikannya sebagai momentum memacu pertumbuhan ekonomi. MEA mendatang seyogyanya perlu terus dikawal  dengan upaya-upaya terencana dan targeted dengan terus meningkatkan  sinergitas, utamanya dalam meningkatkan dukungan menata ulang kelembagaan birokrasi, membangun infrastruktur, mengembangkan sumberdaya manusia, perubahan sikap mental serta meningkatkan akses financial terhadap sektor riil yang kesemuanya bermuara pada upaya meningkatkan daya saing ekonomi.

Bagi Indonesia sendiri, MEA akan menjadi peluang  karena hambatan perdagangan akan cenderung berkurang bahkan menjadi tidak ada. Hal tersebut akan berdampak pada peningkatan ekspor yang pada akhirnya akan meningkatkan GDP Indonesia. Pada sisi investasi, dengan dukungan birokrasi pada aspek kelembagaan dan sumber daya manusianya,  diharapkan  dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif dalam mendukung masuknya Foreign Direct Investment (FDI).
Meningkatnya investasi diharapkan dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi, perkembangan teknologi, penciptaan lapangan kerja, pengembangan sumber daya manusia (human capital) dan mengatasi masalah tenaga kerja dan pengentasan kemiskinan  yang menjadi tantangan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sebagai gambaran,  daya tarik investasi ke ASEAN lebih besar dari pasar global ketimbang nilai investasi antar negara ASEAN sendiri. Nilai investasi dari pasar global ke ASEAN mencapai 67 miliar dollar AS, jauh lebih tinggi dibanding nilai investasi antar negara ASEAN yang hanya 26 miliar dollar AS.

Disamping itu pemberlakuan MEA 2015 mendatang dapat dijadikan peluang bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia, mengingat  semakin meningkatkan size ekonomi kawasan, dimana dalam studi CSIS dan ADBI, diprediksikan negara-negara Asean akan berpendapatan total 5,4 triliun dollar AS pada 2030 mendatang. Namun sebaliknya, pemberlakuan MEA 2015 akan dapat menjadikan kita sebagai pecundang belaka,  yang ditandai dengan hanya menjadi pasar impor, dan terjebak  menjadi negara berpendapatan menengah  (middle income trap), apabila tanpa persiapan yang matang dalam meningkatkan produktivitas,  efesiensi dan daya saing.

Di masa lampau kekuatan dan daya saing sebuah bangsa dalam percaturan ekonomi dan perdagangan internasional ditentukan oleh keunggulan komparatif (comparative advantage) yang terkait erat dengan “keunggulan” sumber kekayaan alam yang dimiliki. Namun dalam perkembangannya konsep dan keyakinan tersebut terbantahkan, dimana pada pertengahan 1985, Prof. Michael Porter dari Harvard University, menyajikan gagasan baru, teori keunggulan kompetitif  (competitive advantage theory) sebagai sumber daya saing yang kemudian praktis meruntuhkan keyakinan lama bahwa kekayaan alamlah yang menentukan tinggi rendahnya daya saing suatu bangsa.

Secara sederhana teori keunggulan kompetitif, menjadi dasar baru bagi peningkatan daya saing ekonomi, hal inilah yang menjadikan kemajuan ekonomi  negara-negara  seperti Jepang, Singapura, dan juga Korea Selatan, sehingga  dapat mencapai taraf perkembangan ekonomi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Teori keunggulan kompetitif tampaknya sangat relevan  dengan menjadikan daya saing sebagai pilar utama  meningkatkan  pertumbuhan ekonomi. Pemahaman mengenai pentingnya daya saing berkembang seiring dengan semakin berkembangnya globalisasi dan perdagangan bebas. Daya saing secara garis besar diukur berdasarkan kondisi institusi, kebijakan, dan faktor-faktor  yang menentukan tingkat produktivitas ekonomi suatu negara.

Produktivitas yang tinggi mencerminkan daya saing tinggi dan daya saing tinggi berpotensi menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Daya saing tinggi menuntut pemenuhan “prasyarat dasar” yang diantaranya meliputi infrastruktur, kualitas kelembagaan birokrasi, stabilitas ekonomi makro, serta pendidikan.

Inpres No. 6 Tahun 2014  dan Strategi Peningkatan Daya Saing
Pemerintah RI terus meningkatkan komitmennya dalam mendukung optimalisasi daya saing guna memacu produktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, dengan  terbitnya Inpres No. 6 Tahun 2014 pada 1 September 2014. Melalui Inpres tersebut, Presiden RI menginstruksikan kepada jajaran pemerintah di seluruh Indonesia, untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing secara terkoordinasi dan terintegrasi untuk meningkatkan daya saing nasional dan melakukan persiapan pelaksanaan MEA yang akan dimulai pada Tahun 2015.

Diharapkan melalui Inpres tersebut peningkatan daya saing dapat terus ditingkatkan, utamanya dengan mengedepankan beberapa strategi dasar di antaranya:
1.      Pengembangan industri nasional yang berfokus pada pengembangan industri prioritas dalam rangka memenuhi pasar ASEAN; pengembangan industri dalam rangka mengamankan pasar dalam negeri. Selanjutnya, pengambangan industri kecil menengah; pengembangan SDM dan penelitian; dan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI).
2.      Pengembangan pertanian, dengan fokus pada peningkatan investasi langsung di sektor pertanian, dan peningkatan akses pasar.
3.      Pengembangan kelautan dan perikanan, dengan fokus pada penguatan kelembagaan dan posisi kelautan dan perikanan; penguatan daya saing kelautan dan perikanan; penguatan pasar dalam negeri; dan penguatan dan peningkatan pasar ekspor.
4.       Pengembangan energi, yang fokus pada pengembangan sub sektor ketenagalistrikan dan pengurangan penggunaan energi fosil (Bahan Bakar Minyak); sub sektor energi baru, terbarukan dan konservasi energi; dan peningkatan pasokan energi dan listrik agar dapat bersaing dengan negara yang memiliki infrastruktur lebih baik.

Selain itu masih ada sepuluh sektor pengembangan lainnya, yang meliputi pengembangan infrastruktur; pengembangan sistem logistik nasional; pengembangan perbankan; investasi; usaha mikro, kecil, dan menengah; tenaga kerja; kesehatan; perdagangan; kepariwisataan; dan kewirausahaan. Kita patut bersyukur upaya untuk terus meningkatkan daya saing secara bertahap di Indonesia telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan, meskipun harus diakui masih terdapat berbagai kekurangan  yang menjadi tugas bersama untuk terus memperbaikinya.

Meningkatnya daya saing Indonesia tercermin dari laporan Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum (WEF) pada Selasa (2/9), yang  merilis Indeks Daya Saing Global 2014-2015. Dalam rilis itu dikemukakan, daya saing Indonesia naik 4 tingkat menjadi peringkat 34 dari 144 negara di dunia. Peringkat Indonesia mengungguli Spanyol (35), Portugal (36), Filipina (52), Rusia (53), Brasil (57), India (71), Yunani (81), Mesir (119) dan Pakistan (129). Pada tahun 2012 daya saing Indonesia ada pada peringkat 50, tahun 2013 urutan ke-38 dan tahun ini menempati urutan ke-34.

Membaiknya daya saing Indonesia antara lain ditopang oleh ‘prestasi’ pertumbuhan ekonomi yang rata-rata mencapai 5,8% per tahun sejak 2005. Di tengah melambatnya perekonomian global, pertumbuhan ekonomi nasional di atas 5%. Peningkatan daya saing Indonesia juga banyak didorong oleh kemajuan pembangunan infrastruktur. Meskipun infrastruktur kita masih banyak masalah, namun dalam kurun waktu 5 tahun terakhir progresnya cepat, terutama infrastruktur konektivitas.

Kenaikan peringkat daya saing Indonesia seyogyanya dapat terus diupayakan percepatannya dalam  menghadapi persaingan MEA 2015 mendatang, strategi utama yang dapat dipertimbangkan adalah memacu percepatan reformasi birokrasi. Hal ini didasari atas kenyataan masih belum kondusifnya  dukungan birokrasi dalam mengoptimalkan peningkatan daya saing, terutama terkait dengan mengembangkan kemudahan berbisnis (doing business) sebagai salah satu tolok ukur utama daya saing negara.

Dari berbagai riset dan literatur sudah diidentifikasi bahwa rendahnya kapasitas kelembagaan birokrasi merupakan penyebab rendahnya tingkat kemudahan menjalankan bisnis di Indonesia. Hal ini kontraproduktif dengan  proyeksi semakin meningkatnya kompleksitas pengelolaan makroekonomi jelang pemberlakuan MEA 2015,  yang  memerlukan penguatan dan peningkatan kapasitas institusional secara memadai dan berkesinambungan. Kapasitas kelembagaan birokrasi bukan hanya mencakup institusi yang efisien, namun juga jajaran staf birokrasi yang berkualitas dan regulasi yang kondusif bagi pengembangan iklim investasi.

Survei yang dilakukan Bank Dunia juga menunjukkan korelasi kuat antara tingkat kemudahan menjalankan bisnis dan tingkat daya saing ekonomi. Masalah pemberdayaan kelembagaan birokrasi tampaknya memang menjadi soal sangat serius bagi Indonesia ke depannya. Upaya-upaya berkelanjutan dalam menciptakan efektif dan efisiensi birokrasi seyogyanya menjadi upaya bersama untuk diwujudkan percepatannya. Kementerian/lembaga yang terkait dengan pelayanan publik harus menjadi aktor-aktor utama perubahan kelembagaan yang lebih baik yang diikuti dengan kesamaan dalam menerjemahkan visi sampai dengan level birokrasi di pemerintah daerah.
Di tingkat daerah, pemerintah daerah seyogyanya mengubah paradigma penggalian pendapatan daerah yang bersumber dari pungutan daerah, serta menjadikan  pemodal atau investor yang akan menanamkan modalnya di daerah sebagai pihak yang membutuhkan pelayanan yang baik. Harus dipahami bahwa persaingan di tingkat regional Asean, Asia, bahkan global, akan menghadapkan birokrasi pemerintahan Indonesia dengan negara-negara lain. Maka, unsur birokrasi pemerintahan pada level pusat dan daerah, harus bersiap diri untuk berkompetisi dengan birokrat dari negara-negara lain.

Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) untuk basis inovasi di kelembagaan pemerintahan juga perlu dilakukan karena arah birokrasi ke depan adalah otomasi atau bahkan digitalisasi yang akan makin mengefisienkan roda birokrasi. Implementasi prinsip-prinsip effective and efficient government dengan menata ulang struktur birokrasi, memacu daya adaptasi birokrasi terhadap perubahan  dalam penyelenggaraan pemerintahan, merupakan kata kunci dalam mengoptimalkan peran kelembagaan birokrasi bagi peningkatan daya saing nasional.

Dari sisi SDM,  perlu terus diupayakan   membangun meritokrasi sistem staffing birokrasi, melalui implementasi open recruitment, dengan open recruitment, diharapkan akan didapatkan  calon-calon yang kapabel untuk memegang jabatan tertentu. Menata ulang kelembagaan dan SDM birokrasi seyogyanya  menjadi prioritas pada semua tataran birokrasi, mengingat semakin ketatnya persaingan ekonomi kawasan pada masa mendatang.

Ketatnya persaingan akan  menjadikan semakin sentralnya peran birokrasi sebagai “center of activity”  yang menjamin akselerasi berbagai implementasi  kebijakan dan program yang dirancang untuk memenangkan persaingan jelang MEA 2015. Birokrasi harus mampu memberi sumbangsih   dalam pemberdayaan masyarakat, menjadi katalisator dan inovator serta membangun kompetisi dalam arti positip, menjadikan birokrasinya saling bersaing, antar bagian dalam memberikan pendampingan dan penyediaan regulasi dan barang-barang kebutuhan publik.

Transformasi jiwa-jiwa entrepreneurship  ke dalam birokrasi dapat  menjadi alternatif solusi dalam menjawab tantangan tersebut,  mewirausahakan birokrasi  sejatinya adalah sebuah usaha reformasi birokrasi dari aspek sumber daya manusia, yang dapat dilakukan paralel dengan  usaha untuk mereformasi birokrasi dari aspek sistem dan kelembagaan birokrasi yang ada. Mentransformasikan jiwa-jiwa entrepreneurship ke dalam birokrasi, membangun pemerintahan yang kompetitif dan berwawasan ke depan, sebagaimana konsepsi  David Osborne dan Ted Gaebler dalam buku “Reinventing Goverment” tampaknya layak dipertimbangkan dalam menyongsong pemberlakuan MEA 2015.

Mengembangkan spirit wirausahawan pada birokrasi dapat menjadi alternatif pilihan dalam memenangkan persaingan MEA 2015, dengan mewirausahakan birokasi akan menghasilkan individu-individu birokrasi yang beroreintasi kepada tindakan yang bermotivasi tinggi dalam menjalankan tugas-tugasnya, efesien, kreatif dan inovatif dalam memasarkan potensi unggulan daerah,  agar memiliki  nilai tambah ekonomi tinggi. Sikap-sikap mental yang positif dari jiwa-jiwa entrepreneurship  seyogyanya dapat menjadi sebuah daya yang besar dalam mengoptimalkan   kinerja birokrasi dalam mengembangkan investasi, mengatasi masalah ketenagakerjaan, pembangunan infrastruktur dan mengembangkan ekonomi kreatif.

Optimalisasi kinerja birokrasi sangat dibutuhkan dalam memenangkan kompetisi yang terjadi di segala lini dari mulai persaingan mendapatkan investasi, kualitas dan harga jual produk ekspor, pasar tenaga kerja, kualitas infrastruktur, hingga regulasi yang pro-investasi. Kita tentunya berharap dengan mentransformasi spirit kewirausahaan dalam birokrasi akan dapat semakin meningkatkan  kinerja birokrasi dalam  memperkuat daya saing ekonomi nasional  dalam memenangkan persaingan MEA 2015, sehingga dapat mempercepat terwujudnya peningkatan kesejahteraan rakyat.  Semoga.


D.      Implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

Sejarah aktivitas ekonomi dunia mulai tergambarkan sejak meletusnya revolusi industri di Inggris antara tahun 1750-1850 Masehi. Revolusi Industri identik dengan nama James Watt sebagai salah satu tokoh inti dari revolusi ini. Kemudian revolusi ini menyebar ke Eropa barat, Amerika Utara, Jepang sampai keseluruh dunia termasuk Indonesia. Sebelum era Industri, aktivitas ekonomi masyarakat dunia masih sangat bergantung pada produk-produk pertanian yang diolah oleh tenaga manusia.
 
165 tahun setelah revolusi industri lahir di Inggris, dunia masuk ke dalam era aktivitas ekonomi yang sangat jauh berbeda, bahkan dunia sedang beranjak ke dalam era ekonomi yang benar-benar baru. Disadari ataupun tidak, Indonesia kini masih berada di dalam abad informasi. Lihat saja tren yang sedang menjamur saat ini. Toko online di mana-mana, ramainya media sosial (Facebook, Twitter, LINE, Instagram, PATH, dll), juga fasilitas wifi di mana-mana. Sedikit banyak cara baru aktivitas ekonomi semacam ini telah membantu Indonesia berdiri kembali setelah dilanda krisis global di tahun 2008. Krisis ekonomi yang berawal di Amerika Serikat pada 2007 telah menyebarkan dampaknya keseluruh negara di dunia tak terkecuali Indonesia. Hal ini ditandai dengan perekonomian Indonesia yang masih berada diangka 6,1% di 2008.
Perkembangan ekonomi global akhir-akhir ini memberikan sinyal akan pentingnya peningkatan kemandirian dan daya saing sebuah negara di dunia internasional, apalagi Indonesia akan dihadapkan dengan implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), yang pelaksanaannya akan dimulai pada 31 Desember 2015. Pemberlakuan MEA dapat dimaknai sebagai harapan akan prospek dan peluang bagi kerjasama ekonomi antar kawasan dalam skala yang lebih luas, melalui integrasi ekonomi regional kawasan Asia Tenggara, yang ditandai dengan terjadinya arus bebas (free flow): barang, jasa, investasi, tenaga kerja, dan modal. Ini juga akan menjadikan kawasan ASEAN yang lebih dinamis dan kompetitif.

Dengan hadirnya MEA, Indonesia sejatinya memiliki peluang untuk memanfaatkan keunggulan dengan meningkatkan skala ekonomi aggregate, sebagai dasar untuk memperoleh keuntungan, dengan menjadikannya sebagai sebuah momentum untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Bagi Indonesia, MEA akan menjadi peluang  karena hambatan perdagangan akan cenderung berkurang bahkan perdagangan antar negara ASEAN menjadi bebas tanpa hambatan. Hal tersebut akan berdampak pada peningkatan ekspor yang pada akhirnya akan meningkatkan GDP Indonesia.

Namun sebaliknya, pemberlakuan MEA 2015 akan dapat menjadikan kita sebagai konsumer, yang ditandai dengan hanya menjadi pasar impor. Apabila tanpa persiapan yang matang dalam meningkatkan produktivitas, efesiensi, dan daya saing. Apalagi saat ini Indonesia adalah pengimpor pangan yang sangat besar. Jika tidak mampu meningkatkan produksi pangannya secara mandiri, Indonesia akan terus mengalami defisit neraca perdagangan yang berdampak pada melemahnya nilai Rupiah.
Produktivitas yang tinggi mencerminkan daya saing tinggi dan daya saing tinggi berpotensi menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Untuk bisa menjadi negara dengan daya saing tinggi harus ada beberapa yang harus terpenuhi diantaranya meliputi infrastruktur, kualitas birokrasi, stabilitas ekonomi makro, serta pendidikan,yang kesemuanya bermuara pada upaya meningkatkan daya saing ekonomi.

D.1 Ekonomi Kreatif
Kreativitas akan menjadi aktivitas ekonomi mendatang, menggantikan fokus kini pada informasi. Menurut sejarah, agrikultur, perindustrian, dan informasi adalah merupakan hal yang dominan dalam aktivitas ekonomi manusia. Prediksinya menempatkan kreativitas dalam paradigma kategori historis yang membentuk sejarah ekonomi manusia dari sejak permulaan waktu. Maka, seperti halnya revolusi industri menggantikan agrikultur sebagai aktivitas ekonomi dominan, kreativitas pun akan menggantikan abad informasi sebagai fokus dominan ekonomi global (Nomura Research Center).

Ekonomi kreatif sendiri didefinisikan dalam beberapa poin berikut:
1.      Ekonomi Kreatif adalah konsep yang berkembang berdasarkan aset kreatif yang berpotensi membantu pertumbuhan ekonomi.
2.      Ekonomi kreatif mampu meningkatkan pemasukan bagi masyarakat, menciptakan lapangan pekerjaan dan nilai ekonomi yang berasal dari kegiatan ekspor yang dalam waktu bersamaan juga membantu mempromosikan keragaman sosial-budaya serta mengembangkan sumber daya manusia.
3.      Kemudian Ekonomi Kreatif juga mampu menguatkan aspek-aspek ekonomi, kebudayaan dan sosial yang mampu berinteraksi baik dengan teknologi, kegiatan intelektual serta tujuan pariwisata.
4.       Ekonomi kreatif merupakan aktivitas ekonomi berbasis ilmu pengetahuan (knowledge-based economy) dengan dimensi pengembangan hubungan lintas sektoral baik di level makro maupun mikro di dalam aktivitas ekonomi secara keseluruhan.

Di jantung ekonomi kreatif terdapat industri kreatif. (United Nations Conference on Trade and Development) seperti dikutip pada buku “Creative Economy Report 2010” yang dirilis PBB.
Dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa konsep Ekonomi Kreatif merupakan sebuah konsep ekonomi di era ekonomi baru yang mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan mengandalkan ide dan stock of knowledge dari Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya.

Struktur perekonomian dunia mengalami transformasi dengan cepat seiring dengan pertumbuhan ekonomi, dari yang tadinya berbasis Sumber Daya Alam (SDA) sekarang menjadi berbasis SDM, dari era pertanian ke era industri dan informasi. Alvin Toffler (1980) dalam teorinya melakukan pembagian gelombang peradaban ekonomi kedalam tiga gelombang. Gelombang pertama adalah gelombang ekonomi pertanian. Kedua, gelombang ekonomi industri. Ketiga adalah gelombang ekonomi informasi. Kemudian diprediksikan gelombang keempat yang merupakan gelombang ekonomi kreatif dengan berorientasi pada ide dan gagasan kreatif.

Seorang yang hebat memang masih bisa bersaing di era modern ini, akan tetapi kehabatan seorang tersebut akan berkali lipat jika digabungkan dalam 1 (satu) tim, dan konsep ini lah yang lebing sering dipakai untuk mencapai sukses yang lebih efektif dan efisien. Selain antar satu tim bisa saling membantu dan menguatkan, juga bisa saling memberi masukan dengan melihat dari sudup pandang yang berbeda-beda, dan dalam pemecahan masalah akan lebih tepat sasaran jika dalam tim.

D.2 Daya Saing Indonesia dalam menghadapi MEA 2015
Lalu bagaimana dengan Indonesia ? Kita patut bersyukur upaya untuk terus meningkatkan daya saing secara bertahap di Indonesia telah menunjukkan hasil yang cukup membanggakan, meskipun harus diakui masih terdapat berbagai kekurangan  yang menjadi tugas bersama untuk terus memperbaikinya.

Meningkatnya daya saing Indonesia tercermin dari laporan Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum (WEF), yang  merilis Indeks Daya Saing Global 2014-2015. Dalam rilis itu dikemukakan, daya saing Indonesia naik 4 tingkat menjadi peringkat 34 dari 144 negara di dunia. Peringkat Indonesia mengungguli Spanyol (35), Portugal (36), Filipina (52), Rusia (53), Brasil (57), India (71), Yunani (81), Mesir (119) dan Pakistan (129). Pada tahun 2012 daya saing Indonesia ada pada peringkat 50, tahun 2013 urutan ke-38 dan tahun ini menempati urutan ke-34.
Membaiknya daya saing Indonesia antara lain ditopang oleh pertumbuhan ekonomi nasional di atas 5% per tahun sejak 2005. Di tengah melambatnya perekonomian global. Peningkatan daya saing Indonesia juga banyak didorong oleh kemajuan pembangunan infrastruktur. Meskipun infrastruktur kita masih banyak masalah, namun dalam kurun waktu 5 tahun terakhir progresnya cepat, terutama infrastruktur konektivitas. Juga ada beberapa fakta yang dikemukakan oleh McKinsey Global Institute. Bahwa Indonesia hari ini menduduki kekuatan ekonomi peringkat 16 di dunia dan kuat kemungkinan akan duduk manis di peringkat tujuh ekonomi terkuat di dunia pada tahun 2030, dan Indonesia memiliki populasi anak muda yang tumbuh cepat di daerah urban, faktor ini memberi kekuatan tersendiri untuk meningkatkan pemasukan negara.

Fakta di atas tentu memberi peluang yang sangat besar bagi para pelaku ekonomi kreatif di Indonesia. Namun hal tersebut juga bisa menjadi bumerang tatkala pemerintah Indonesia tidak menggenjot dan mendukung kegiatan ekonomi kreatif di Indonesia sehingga ditakutkan konsumen potensial ini akan dipikat oleh produk-produk kreatif dari luar negeri dan pada akhirnya kita hanya menjadi bangsa konsumen seperti yang kita alami selama ini.

D.3 Closing Statement
Sebenarnya saya sebagai salah satu dari rakyat Indonesia sangat prihatin mengetahui bahwa banyak aset penting dan strategis semakin dikuasai asing, dan juga sumber daya alamnya dikeruk semena-mena oleh perusahaan-perusahaan asing. Hal ini tidak terlepas juga dari lemahnya pemimpin di negeri ini serta lemahnya kesadaran masyarakat akibat dari pendidikan yang juga rendah. Pemerintah RI harus terus meningkatkan komitmennya dalam mendukung optimalisasi daya saing guna memacu produktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, terutama dalam hal-hal dasar di antaranya, pengembangan industry, pertanian, kelautan dan perikanan, energi, infrastruktur, pengembangan perbankan, usaha mikro, kecil dan menengah, kesehatan, kewirausahaan, dan perkoperasian.

Kita patut bersyukur upaya untuk terus meningkatkan daya saing secara bertahap di Indonesia telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan, meskipun harus diakui masih terdapat berbagai kekurangan  yang menjadi tugas bersama untuk terus memperbaikinya. Beberapa faktor yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam menghadapi MEA 2015 diantarannya:
1.      Pendidikan Tinggi; tidak dapat dielakkan pentingnya pendidikan bagi kemajuan sebuah negara, dengan masyarakat yang terdidik dapat membantu Indonesia untuk menjadi lebih produktif, lebih inovatif dan lebih mampu meningkatkan daya saing dengan negara lain.
2.      Tehnologi; Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang, tentunya memerlukan begitu banyak hal  yang berhubungan dengan teknologi. Untuk sekarang bisa dikatakan dalam semua bidang dari pertanian, infrastruktur, dan kewirausahaan membutuhkan tehnologi untuk mendukung perkembangan negara.
3.      Birokrasi yang baik; Hal ini penting karena untuk saat ini masih belum kondusifnya  dukungan birokrasi dalam mengoptimalkan peningkatan daya saing, terutama terkait dengan mengembangkan kemudahan berbisnis yang sebagai salah satu barometer utama daya saing negara. Kapasitas kelembagaan birokrasi bukan hanya mencakup institusi yang efektif dan efisien, namun juga jajaran staf birokrasi yang berkualitas dan regulasi yang kondusif.

 

E. Pro-kontra Pasar Bebas ASEAN (MEA) di Indonesia

 

Jika kita tilik bahwa dengan adanya MEA ini akan membawa manfaat bagi kita & negeri ini. Tapi hingga saat ini masih terjadi pertikaian antara pro dan kontra akan adanya MEA yang dilaksanakan pada penghujung 2015 mendatang. Banyak kalangan yang setuju dan tidak setuju dengan kemunculan MEA lantaran adanya beberapa sebab, faktor, dan dampak yang terjadi. Dari segi pro dapat dikatakan bahwa Indonesia sudah sangat siap menghadapi MEA, dikarenakan oleh beberapa faktor atau manfaat dari adanya MEA terebut, di antaranya ialah:
1.      Informasi akan semakin mudah dan cepat diperoleh.
2.      Akan tercipta dan meningkatnya lapangan pekerjaan.
3.      Melalui impor-ekspor yang terjadi pada saat dilaksanakan MEA, kebutuhan negeri akan terpenuhi serta dapat menambah pendapatan negara.
4.      Dapat mendorong peningkatan ekonomi masyarakat, negara, serta bisa menstabilkan ekonomi negara.
5.      Kegiatan produksi negeri akan semakin meningkat baik secara kualitas maupun kuantitas.
6.       Menambah devisa negara melalui bea masuk dan bea lain atas ekspor dan impor.

Sebenarnya masih banyak manfaat dari apa yang sudah di atas akan adanya MEA baik bagi masyarakat sendiri maupun negara. Pemerintah indonesia nyatanya memang sudah percaya diri dan siap menghadapi MEA nanti. Indonesia juga dipastikan bahkan dapat memimpin di barisan garda depan ekonomi ASEAN. Hal ini terbukti dengan adanya langkah-langkah yang sudah dipersiapkan pemerintah beberapa tahun lalu. Langkah-langkah tersebut di antara ialah:
1. Bahwa selama tahun 2010 pemerintah sudah menggalakkan pembenahan insfratuktur. Perbaikan infrastruktur yaitu dengan melalui perbaikan sarana akses jalan raya, transportasi, pengembangan teknologi & informasi, perbaikan & pengembangan bidang energi listrik. Akhir-akhir ini juga pemerintah telah bekerja keras membangun jalan tol di berbagai kota di Jawa maupun luar Jawa serta pembenahan jalan raya lainnya di berbagai wilayah di Indonesia. Jusuf Kalla mengatakan bahwa syarat menghadapi MEA ialah dengan adanya infrastuktur yang ada kini harus memadai.
2. Peningkatan sumber daya manusia (SDM). Mungkin peningkatan SDM merupakan hal yang harus patut diperhatikan. Bagaimanapun nantinya kita akan menghadapi orang-orang Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei, yang notabene memang mempunyai kemampuan & skill yang cukup bagus. Tapi kita sebagai putra bangsa Indonesia tidak usah khawatir. Pemerintah kini telah menggalakkan pendidikan dengan memperbaiki dan mengevaluasinya guna menghadapi MEA bahkan globalisasi supaya kita bisa bersaing kelak.
3. Penguatan daya saing ekonomi. Hingga kini pemerintah telah meluncurkan master plan percepatan & perluasan ekonomi Indonesia supaya bisa terwujud ekonomi yang stabil, kuat, serta berkualitas. Perlu Anda ketahui semenjak MEA dibentuk, pemerintah terus berusaha memperbaiki kualitas ekonomi di negeri ini. Sampai saat ini ekonomi Indonesia kian tahun kian berkembang, terbukti dari tahun 1990 kenaikan ekonomi Indonesia hanya 15% dan pada tahun 2010 ekonomi indonesia mengalami kenaikan menjadi 37%. Tak ketinggalan pendapatan produk domestik bruto PDB mengalamin kenaikan dari PDB per kapita berkembang US$ 965 pada tahun 1998, sementara pada tahun 2011 menjadi US$ 3,601.
4. Peningkatan sektor usaha masyarakat kecil menengah atau lebih sering disebut dengan UMKM. Beberapa tahun ini nyatanya memang pemerintah berusaha menigkatkan UMKM. Pemerintah pun berusaha pula mengalokasikan dana kepada mereka, memberikan bantuan, pelatihan dan berbagai usaha lain agar usaha mereka tidak gulung tikar, lebih-lebih mereka siap bersaing di kancah ekonomi ASEAN.

Dari beberapa langkah yang telah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa Indonesia sudah siap dan percaya diri untuk menghadapi MEA di penghujung tahun 2015 nanti. Lebih-lebih jika dilihat dari dampaknya, MEA memiliki manfaat yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat dan negara kita. Direktorat Jenderal Perdagangan Internasional Imam Panbagyo dalam DJKPI.com beliau menyatakan bahwa “dalam menghadapi MEA, Indonesia sudah menyatakan kesiapannya, ekonomi Indonesia sendiri sudah mencapai 83% pada penghujung 2015 nanti.

Lain lagi di pihak kontra. Di kontra Indonesia memang dinyatakan belum siap menghadapi MEA. Sepertinya arus produk asing pada pasar bebas yang akan datang dari berbagai negara nanti akan membanjiri negeri ini. Sangat dikhawatirkan jika masyarakat Indonesia belum siap & tidak dapat membendung produk asing yang membanjiri, maka akibatnya banyak pengusaha yang akan gulung tikar, dan ini tentu berpengaruh pada ekonomi Indonesia. Jika kita tilik dengan adanya berbagai gonjang-ganjing masalah yang di negeri kini, apakah masyarakat serta pemerintah Indonesia sudah siap menghadapi MEA?

Sepertinya persiapan untuk menghadapi pasar bebas ASEAN belum matang. Problematika yang ada di negeri kita sekarang ini membuat kita kurang percaya diri untuk menghadapinya. Kenaikan harga beras, BBM, listrik, mungkin itu salah satu faktor ekonomi Indonesia masih dinyatakan belum meningkat. Belum lagi masalah politik yang sedang semrawut sehingga menyebabkan pemerintah memperhatikan sektor ekonomi yang ada.
Adanya MEA pun memiliki dampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi indonesia, di antaranya ialah:
1. Dengan adanya pasar bebas maka negara lain dapat menjual barang produksinya dengan mudah di negeri ini, lebih-lebih jika barang yang ada dari negara lain dijual dengan harga yang murah tapi berkualitas bagus dan laku keras, akibatnya beberapa sektor industri dalam negeri tidak mampu bersaing bahkan bisa mengalami kerugian yang sangat besar. Jika masyarakat Indonesia tidak mampu bersaing, akan terjadi pengangguran bahkan kemiskinan akan bertambah.
2. Orang asing dapat mengekploitasi alam Indonesia dengan mudah. Jika hal itu terjadi, maka hilanglah kekayaan alam kita satu per satu dan ini dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar.

Dari paparan di atas, jika kita tak mampu menghadapi pasar bebas, kita akan kalah saing dengan negara lain. Ketua panitia pelaksana pusat Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec dan ratusan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia menyatakan pada seminar nasional ISEI bahwa” banyak pihak yang menilai bahwa Indonesia saat ini belum siap menghadapi regionalism di tingkat ASEAN karena daya saing ekonomi nasional dan daerah masih belum kuat. Oleh karenanya jika hal ini terjadi, imbasnya pada kerugian dan penurunan ekonomi negara. Beberapa faktor yang menyatakan ketidaksiapan Indonesia menghadapi MEA ialah SDM yang belum siap. Jika SDM yang Indonesia miliki tidak bisa bersaing dengan tenaga kerja asing yang memiliki skill & lebih kreatif, maka dapat dipastikan akan terjadi banyak pengangguran. Faktor lainnya ialah minimnya sosialisasi akan MEA pada masyarakat. Hal ini memang terbukti masih banyaknya masyarakat Indonesia belum mengetahui tentang pasar bebas ASEAN atau MEA sehingga mereka pun tak sadar serta tidak mempersiapkan diri untuk menghadapinya.

Dari semua kesimpulan di atas, faktanya memang Indonesia masih belum siap menghadapi MEA di penghujung tahun 2015 ini lantaran beberapa faktor. Tapi tak menutup kemungkinan dari semua rencana dan usaha & kepercayaan diri yang telah tertanam bisa membuat kita semakin yakin untuk menghadapinya. Kita pun putra bangsa Indonesia tak boleh gentar untuk berani bersaing di kancah internasional. Percayalah bahwa kita dapat menghadapi pasar bebas ASEAN tuk bawa tanah air kita memimpin di garda paling depan di kancah internasional.




BAB III
PENUTUP

A.   KESIMPULAN 

            Pasar bebas adalah pasar ideal di mana seluruh keputusan ekonomi, dan aksi oleh individu yang berhubungan dengan uang, barang, dan jasa adalah sukarela, dan oleh karena itu tanpa mencuri. Sedangkan yang dimaksud ekonomi pasar bebas ialah ekonomi di mana pasar relatif bebas. pasar bebas atau lebih sering kita sebut MEA (masyarakat ekonomi Asian). Negara-negara ASEAN membentuk MEA untuk menciptakan keamanan dan perdamaian dan ekonomi yang kuat sehingga bisa berkompetisi dengan negara-negara yang ada di Asia bahkan di dunia.
            Dengan berlakunya pasar bebas di Indonesia ini dapat memberikan dapat positif dan manfaat kondisi ekonomi bagi Indonesia. Tingkat kemiskinan tercatat turun dari 45% dari tahun 1990 menjadi 15,6% pada 2010, sedangkan tingkat penduduk kelas menengah naik dari 15% menjadi 37%.
            Hal ini menunjukkan dampak positif pada pertumbuhan ekonomi Indonesia berkat diberlakukannya MEA. Secara tidak langsung, MEA memang dapat meningkatkan suhu perekonomian Indonesia. Meningkatnya kompetisi dalam bidang ekonomi tentunya akan memacu para pelakunya untuk bekerja keras mengatasi dampak persaingan. Para pelaku bisnis akan lebih kreatif dan inovatif dalam upaya untuk tetap bertahan di tengah persaingan bisnis.
            Dengan hadirnya ajang MEA ini, Indonesia sejatinya memiliki peluang untuk memanfaatkan keunggulan dengan meningkatkan skala ekonomi dalam negeri,  sebagai basis memperoleh keuntungan, dengan menjadikannya sebagai momentum memacu pertumbuhan ekonomi.
            Daya saing merupakan proses untuk pencapaian sebuah tujuan yang lebih baik kedepan dalam meningkatkan pertumbuhan dan pendapatan sebuah Negara. Dalam menghadapi MEA Indonesia akan membaiknya daya saing Indonesia antara lain ditopang oleh ‘prestasi’ pertumbuhan ekonomi yang rata-rata mencapai 5,8% per tahun sejak 2005. Di tengah melambatnya perekonomian global, pertumbuhan ekonomi nasional di atas 5%.
            Kita patut bersyukur upaya untuk terus meningkatkan daya saing secara bertahap di Indonesia telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan, meskipun harus diakui masih terdapat berbagai kekurangan  yang menjadi tugas bersama untuk terus memperbaikinya.
            Hal ini didasari atas kenyataan masih belum kondusifnya  dukungan birokrasi dalam mengoptimalkan peningkatan daya saing, terutama terkait dengan mengembangkan kemudahan berbisnis (doing business) sebagai salah satu tolok ukur utama daya saing negara.



B.     SARAN
           
         Dengan adanya pasar bebas maka negara lain dapat menjual barang produksinya dengan mudah di negeri ini, lebih-lebih jika barang yang ada dari negara lain dijual dengan harga yang murah tapi berkualitas bagus dan laku keras, akibatnya beberapa sektor industri dalam negeri tidak mampu bersaing bahkan bisa mengalami kerugian yang sangat besar. Jika masyarakat Indonesia tidak mampu bersaing, akan terjadi pengangguran bahkan kemiskinan akan bertambah.
Oleh karena itu pemerintah harus mempersiapkan daya saing perekonomian Indonesia dalam menghadapi pasar bebas (MEA) dengan cara:
-          Penguatan daya saing ekonomi. Hingga kini pemerintah telah meluncurkan master plan percepatan & perluasan ekonomi Indonesia supaya bisa terwujud ekonomi yang stabil, kuat, serta berkualitas.
-          Peningkatan sumber daya manusia (SDM). Mungkin peningkatan SDM merupakan hal yang harus patut diperhatikan.
-          Perbaikan infrastruktur yaitu dengan melalui perbaikan sarana akses jalan raya, transportasi, pengembangan teknologi & informasi, perbaikan & pengembangan bidang energi listrik.








DAFTAR PUSAKA

Cahyono, Eddy (2014). "Peningkatan Daya Saing Ekonomi & Peran Birokrasi",

Sumber: first5000.com
http://ronawajah.wordpress.com/2008/12/01/sumberdaya-manusia-kapan-berkemampuan-kompetitif/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar