Rabu, 28 Desember 2016

Study Kasus PEREKONOMIAN INDONESIA : AFCTA Terhadap Indonesia



PEMBERLAKUAN KELUASAN PERDAGANGAN BEBAS ASEAN – CHINA ATAU ASEAN – CHINA FREE TRADE AREA (ACFTA) PADA NEGARA INDONESIA
By
Rani Kusriani
Mahasiswi Akuntansi Semester 5 Di Universitas Satyagama, Jakarta, Indonesia





BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan negara berkembang yang sudah seharusnya mengembangkan potensinya dalam berbagai hal. Termasuk dalam segi perkembangan ekonomi yang masih tergolong rendah. Salah satu jalan keluarnya adalah bekerjasama dengan negara-negara lain di dunia.

Globalisasi juga merupakan suatu fenomena yang tidak dapat dibendung lagi. Di mana sudah tidak ada lagi kendala untuk melakukan mobilisasi baik dalam bentuk produk, jasa, buruh maupun modal. Trend globalisasi ini menghasilkan sebuah fenomena free trade yang lebih massive lagi. Di mana negara-negara semakin memiliki keleluasaan dalam menjalin kerjasama perdagangan dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonominya.

Masalah perekonomian merupakan masalah yang tiada batasnya. Indonesia merupakan salah satu dari 3 negara Asia, disamping China dan India yang tetap tumbuh positif saat negara lain terpuruk akibat krisis finansial global. Ini merupakan suatu prestasi dan optimisme bagi masa depan perekonomian Indonesia. Dengan kondisi ini, pemerintah mengadakan Asean-China Trade Agreement (ACFTA) guna menghadapi persaingan global. Persiapan Indonesia dalam menghadapi ACFTA merupakan salah satu bentuk kerja sama liberalisasi ekonomi yang banyak dilakukan Indonesia dalam 10 tahun terakhir ini.

Perdagangan bebas ASEAN-China dimulai pada awal tahun 2010,  ini berarti perdagangan di Asia Tenggara dan China mengadopsi sistem baru, yaitu sistem yang bebas hambatan. Tarif dan bea masuk yang selama ini dianggap sebagai penghambat telah dihapuskan agar semua komoditas yang diperdagangkan mendapat perlakuan sama di kawasan tersebut. Kesepakatan pembentukan kawasan perdagangan bebas ASEAN-China merupakan akibat dari adanya globalisasi yang secara tidak langsung memaksa negara-negara untuk melakukan kerja sama guna mempertahankan eksistensinya di dunia Internasional.

Perjanjian ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA) menurunkan tarif pajak dari 90% untuk barang impor menjadi nol. Negara ASEAN, terutama yang sedang berkembang (Singapura dianggap sebagai negara maju), akan dibanjiri dengan laju barang dibawah ACFTA. Peningkatan akses terhadap barang murah, dalam konteks pengeluaran, akan sangat menguntungkan bagi masyarakat miskin.

Namun, dengan adanya perdagangan bebas ini, justru masyarakat ASEAN sedikit khawatir, terutama Indonesia. karena jika dibandikan, produk Indonesia kalah bersaing dengan produk China. Bahkan Negara-negara ASEAN juga mungkin akan sedikit dirugikan atau mengalami deficit dalam perdagangan, serta China akan mengalami surplus, karena dengan harga yang murah dan kualitas barang yang bagus dan terjamin. Terlebih lagi, sebelum diadakannya perjanjian ini, China sudah menguasai pasar-pasar di Asia, terutama di Asia Tenggara. Olehnya itu, Indonesia perlu melakukan berbagai Persiapan guna menghadapi kondisi perdagangan bebas tersebut. Persiapan ini sangat perlu dilakukan karena adanya fakta bahwa sebelum era perdagangan bebas ASEAN-China diberlakukan pun, pasar Indonesia sudah kesulitan menghadapi gempuran barang impor ilegal dari China.

1.2  RUMUSAN MASALAH

·         Apa itu ACFTA ?
·         Apa saja kesepakatan ACFTA dengan Indonesia?
·         Apa dampak ACFTA bagi Indonesia?

1.3  MAKSUD DAN TUJUAN

·         Untuk mengetahui lebih jauh tentang ACFTA.
·         Untuk mengetahui kesepakatan yang dibuat ACFTA dengan Indonesia.
·         Untuk dapat mengetahui dampak ACFTA di Indonesia




BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN ACFTA

ACFTA adalah suatu kawasan perdagangan bebas di antara anggota-anggota ASEAN dan Cina. Kerangka kerjasama kesepakatan ini ditandatangani di Phnom Penh, Cambodia, 4 November 2002, dan ditujukan bagi pembentukan kawasan perdagangan bebas pada tahun 2010, tepatnya 1 Januari 2010. Setelah pembentukannya ini ia menjadi kawasan perdagangan bebas terbesar sedunia dalam ukuran jumlah penduduk dan ketiga terbesar dalam ukuran volume perdagangan, setelah Kawasan Perekonomian Eropa dan NAFTA.

Usulan pembentukan kawasan ini dicetuskan Cina pada bulan November 2000. Pada saat itu Cina memprediksi akan menggeser Amerika Serikat pada posisi mitra dagang utama ketiga ASEAN, setelah Jepang dan Uni Eropa. Pada rentang waktu antara 2003 dan 2008, volume perdagangannya dengan ASEAN tumbuh dari US$59.6 milyar menjadi US$192.5 milyar. Cina juga diprediksi menjadi negara eksporter dunia terbesar pada tahun 2010.

Pembentukan ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) merupakan tindak lanjut dari kesepakatan antara negara-negara ASEAN dengan Republik Rakyat China mengenai Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between the Association of South East Asian Nations and the People’s Republic of China (“Framework Agreement”).

Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 5 November 2002 dan melahirkan tiga kesepakatan, yaitu Agreement on Trade in Goods atau kesepakatan perdagangan di bidang barang (29 November 2004), Agreement on Trade in Service atau kesepakatan perdagangan di bidang jasa (14 Januari 2007), dan Agreement on Investment atau kesepakatan di bidang investasi (15 Agustus 2007).

ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) adalah sebuah persetujuan kerjasama ekonomi regional yang mencakup perdagangan bebas antara ASEAN (Assosiation of South East Asian Nation) dengan China. Persetujuan ini telah disetujui dan ditandatangani oleh negara-negara ASEAN dan China pada tanggal 29 November 2004. Dalam kerjasama ini, hambatan-hambatan tarif dan non-tarif dihilangkan atau dikurangi dalam rangka mewujudkan perdagangan bebas dalam kawasan regional ASEAN dan China. Namun, tidak semua anggota ASEAN menyetujui penghapusan tarif dalam waktu bersamaan. ASEAN6 yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam, dan filipina menyetujui penghapusan per 1 januari 2010, sedangkan CMLV (Camboja, Myanmar, Laos, dan Vietnam) baru akan mengeliminasi dan menghapus tarif per 1 Januari 2015.

Tidak hanya itu, negara-negara yang telah menyetujuinya juga akan meningkatkan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi serta meningkatkan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para Pihak ACFTA. Di dalam Framework  Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between the ASEAN and People’s Republic of China,  kedua pihak sepakat akan melakukan kerjasama yang lebih intensif di beberapa bidang seperti pertanian, teknologi informasi, pengembangan SDM, investasi, pengembangan Sungai Mekong, perbankan, keuangan, transportasi, industri, telekomunikasi, pertambangan, energi, perikanan, kehutanan, produk-produk hutan dan sebagainya. Kerjasama ekonomi ini dilakukan untuk mencapai tujuan demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan China.


2.2 PETA ACFTA

Perjanjian ACFTA ini telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan KEPPRES No.48 tahun 2004 dan mulai diberlakukan pada tanggal 1 januari 2010. Namun yang jadi kendala utama pelaksanaan berlakunya perjanjian ACFTA di Indonesia, bahwa ternyata banyak pihak yang meminta agar waktu berlakunya perjanjian ini agar direnegoisasi kembali oleh pemerintah, yang menurut prediksi para pelaku bisnis dan pemerhati ekonomi Indonesia akan dapat merontokkan ketahanan ekonomi nasional dari serbuan produk China yang masuk ke Indonesia.

Adapun yang perlu diperhatikan selanjutnya oleh pemerintah Indonesia dalam merenegosi-asikan kembali ACFTA dalam lingkup pos-pos tertentu yang dianggap belum siap menghadapi pelaksanaan ACFTA di Indonesia, maka pemerintah dalam pengertian paham monisme yang dianut pada UU No. 24 tahun 2004, khususnya Pasal 4 ayat (2) dapat mengarahkan kepada kesamaan kedudukan dan saling menguntungkan antarnegara peserta.

Namun kendalanya adalah UU ini hanya berlaku di Indonesia, maka tugas pemerintah yang paling berat adalah meyakinkan negara sesama anggota ASEAN agar mendukung rencana yang diusung pemerintah Indonesia mengenai ketidak siapan beberapa post yang belum siap sepenuhnya menghadapi akibat dari pelaksanaan perdagangan bebas ACFTA di Indonesia.

Selanjutnya, langkah yang tidak kalah pentingnya adalah membuat aturan yang jelas perihal persamaan kedudukan para negara peserta dalam perjanjian ACFTA ini, demi untuk menghindarkan dominasi negara terkuat khususnya mengenai penentuan harga-harga atas produk barang maupun jasa, (angan sampai Indonesia hanya menjadi Price Taker, sementara Negara Maju menjadi Price Maker.

Menyediakan dan membentuk aturan yang tegas terkait dengan ketentuan standar nasional dari beberapa negara peserta dan ketentuan anti dumping. Sehingga dengan adanya aturan main yang jelas tersebut, akan dapat ditentukan standar minimum yang harus dipenuhi untuk dapat menembus pangsa pasar yang disepakati dalam perjanjian ACFTA, disamping dengan adanya ketentuan yang jelas akan sanksi dan aturan anti dumping juga akan dapat menciptakan fair trade competition dan bukan unfair trade competion. Disinilah fungsi utama pemerintah sebagai pemegang kewenangan atas regulasi, memproteksi ketahanan perekonomian nasional dari gempuran masuknya produk-produk asing ke dalam negeri.

Tahun 2009 yang penuh tantangan telah kita lewati. Kita patut bersyukur di bawah tekanan perekonomian global yang masih belum sepenuhnya pulih, perekonomian nasional masih mampu tumbuh.

Dari sisi fundamental, sejumlah indikator menunjukkan bahwa kondisi ekonomi makro Indonesia saat ini lebih meyakinkan. KADIN mencatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan ketiga 2009 sudah kembali naik menjadi 4,2 persen dari angka terendah 4,0 persen pada triwulan sebelumnya. Laju inflasi tahun 2009 mencatat angka terendah sebesar 2,7 persen. Sementara itu, nilai tukar mulai stabil pada kisaran Rp 9.000-Rp 9.500 per dollar AS.

Ekspor year on year sudah beberapa bulan terakhir meningkat kembali, juga pertumbuhan produksi industri besar dan menengah. Penjualan sepeda motor, mobil, dan semen menggeliat. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menembus 2.600 pada minggu kedua Januari 2010 dan masih bertahan hingga akhir minggu lalu. Tercatat pada hari penutupan perdagangan Bursa Efek Indonesia 2009, investor asing membeli lebih dari satu miliar saham (Rp 2,5 triliun) dan melakukan transaksi jual 700-an juta lembar saham (Rp 1,7 triliun) sehingga pada posisi pembelian bersih. Porsi asing tampaknya juga mendominasi.

Modal asing meminati Surat Utang Negara (SUN) dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Tercatat pada akhir 2009 investor asing membeli SBI Rp 44,1 triliun dan pada akhir minggu pertama Januari 2010 menjadi Rp 49,5 triliun. Sedangkan investor asing membeli SUN hingga akhir tahun lalu mencapai Rp 106,3 triliun dan pada minggu pertama Januari 2010 menjadi Rp 109 triliun. Data di perbankan hingga November tahun lalu menunjukkan bahwa sejumlah Rp 1.398 triliun kredit tersalurkan dengan penekanan pada kredit sektor perdagangan, restoran dan hotel mencapai Rp 290 triliun, kredit manufaktur Rp 243 triliun, jasa dunia usaha Rp 146 triliun, dan sisanya untuk pertanian, pertambangan, peralatan, konstruksi, pengangkutan, dan telekomunikasi.

Karena itu, International Institute for Management Development dalam publikasi tahunan terbarunya, World Competitiveness Yearbook (2009), menempatkan daya saing Indonesia di posisi ke-42 tahun 2009 dari urutan ke-51 tahun 2008. Memang harus diakui bahwa peningkatan kondisi Makro ini bukan disebabkan oleh pembenahan mendasar di dalam negeri, melainkan lebih karena negara-negara lain banyak yang terkapar akibat krisis global. Kendatipun demikian, momentum ini harus cepat dimanfaatkan untuk melakukan perbaikan terhadap unsur-unsur utama penentu daya saing. Jika kita abaikan lagi, negara-negara yang kini mengalami kesulitan ekonomi akan segera pulih dan berpotensi segera mengejar Indonesia.


2.3 TUJUH KESEPAKATAN RI-CHINA DALAM ACFTA

Pemerintah Indonesia dan China siap menjalin kerjasama terkait ASEAN-China Free Trade Agreement. Ada lima kesepakatan, di antaranya China mengizinkan pembukaan cabang Bank Mandiri dan pinjaman kepada LPEI, serta membuka fasilitas kredit ekspor untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia.

Dalam Pertemuan Komisi Bersama (Joint Commission Meeting/JMC) ke-10 di Yogyakarta, Sabtu 3 April 2010, Indonesia diwakili oleh Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu. Sedangkan China diwakili Menteri Perdagangan Chen Deming.  JMC merupakan forum untuk membahas isu perdagangan investasi, kerjasama keuangan dan pembangunan.

JCM ke-10 hari ini dilaksanakan dalam suasana persahabatan dan kerjasama sehingga menghasilkan kesepakatan yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Beberapa hasil kesepakatan tersebut antara lain:

Pertama, pihak China sepakat untuk memfasilitasi akses pasar bagi beberapa buah-buahan tropis (pisang, nenas, rambutan) dan sarang burung walet Indonesia untuk dapat memasuki pasar China.

Kedua, kedua pihak sepakat untuk membentuk Kelompok Kerja Resolusi Perdagangan (Working Group on Trade Resolution/WGTR), yang bertujuan untuk memfasilitasi perdagangan yang lancar di antara kedua negara; juga memfasilitasi pembukaan Cabang Bank Mandiri di RRT demi memperkuat hubungan transaksi langsung perbankan.

Ketiga, atas permintaan Indonesia, dalam JCM ini delegasi RRT menyetujui pembukaan cabang Bank Mandiri di RRT , sehingga akan memperkuat hubungan langsung transaksi perbankan kedua negara.

Keempat, kerjasama antara Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dan China Exim Bank dimana kedua pihak menandatangani perjanjian pinjaman sebesar US$ 100 juta dari CEB kepada LPEI. LPEI juga saat ini dalam tahap finalisasi MoU dan Industrial & Commercial Bank of China (ICBC) untuk penyediaan kredit sebanyak US$ 250 juta kepada LPEI. Pinjaman tersebut akan digunakan oleh LPEI sebagai fasilitas kredit untuk mendukung perusahaan-perusahaan di kedua negara terkait dengan proyek-proyek perdagangan dan investasi dalam berbagai sektor-sektor prioritas yang disetujui oleh kedua belah pihak termasuk perdagangan dan investasi barang modal, proyek-proyek sektor infrastruktur, energi dan konstruksi;

Kelima, kedua pihak setuju untuk memaksimalkan penggunaan Pinjaman Kredit Ekspor Preferensial (Preferential Export Buyers Credit) sebesar US$ 1,8 miliar dan Pinjaman Konsesi Pemerintah (Government Concessional Loan) sebesar 1,8 miliar RMB untuk dapat dipergunakan oleh Indonesia dalam mengembangkan berbagai proyek infrastruktur. Adapun proyek-proyek yang telah diselesaikan adalah proyek Jembatan Suramadu dan pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara Labuhan Angin.

Sementara, pembangunan Waduk Jati Gede masih dalam proses. Terdapat pula 6 proyek baru yang telah disetujui oleh kedua belah pihak, yaitu: pembangkit Listrik Tenaga Uap Parit Baru (Kalimantan Barat) dan pengadaan material untuk jalur sepanjang 1.000 km and 200 unit turn out yang masih dalam proses pengadaan; serta konstruksi Jalan Tol antara Medan dan Kuala Namu (Sumatera Utara); Jembatan Tayan (Kalimantan Barat); Pengembangan Jalan Tol Tahap I: Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Jawa Barat); dan Jembatan Kendari (Sulawesi Tenggara).

Keenam, kedua belah pihak telah menyelesaikan Perjanjian Perluasan dan Pendalaman Kerjasama Bilateral Ekonomi dan Perdagangan (Agreement on Expanding and Deepening Bilateral Economic Cooperation) yang akan ditandatangani pada saat kunjungan Perdana Menteri Wen Jiabao ke Indonesia pada akhir bulan ini.

Ketujuh, membahas Agreed Minutes of the Meeting for Further Strengthening Economic and Trade Cooperation) yang antara lain berisi:

A.      Deklarasi Bersama antara Indonesia dan RRT mengenai Kemitraan Strategis yang telah ditandatangani oleh kedua Pimpinan Negara pada bulan April 2005 menjadi dasar untuk lebih memperkuat kerjasama perdagangan dan ekonomi antara kedua negara.
B.      Berdasarkan Deklarasi ini, kedua belah pihak akan mengembangkan perspektif strategis dalam mengatasi kepentingan jangka panjang dan membawa hubungan ke tingkat yang baru untuk kepentingan kedua banga dan negara.

C.      Untuk mencapai tujuan tersebut, Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) tetap menjadi dasar strategis dimana masing-masing pihak harus penuh mengimplementasikan perjanjian tersebut secara menyeluruh dan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.

D.     Kedua pihak akan menetapkan pertumbuhan perdagangan bilateral yang tinggi dan berkelanjutan, dimana jika terdapat ketidakseimbangan perdagangan, pihak yang mengalami surplus perdagangan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan termasuk mendorong impor lebih lanjut dan memberikan dukungan yang diperlukan.

E.      Agreed minutes ini merupakan upaya untuk menindaklanjuti concern beberapa industri di Indonesia terkait dengan dampak dari Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA). Kedua pihak percaya bahwa komitmen bersama antara kedua pemerintah, disertai dengan komitmen-komitmen dari kedua komunitas bisnis, akan dapat mengatasi kekhawatiran tersebut.


2.4  PENGARUH ACFTA TERHADAP INDONESIA

ACFTA membawa dampak terhadap industri-industri domestik dalam negeri hal ini membawa pengaruh terhadap stabilitas Indonesia. ini dilihat dari dua sektor industri yaitu industri tekstil dan alas kaki. Impor Indonesia dari China untuk barang-barang tekstil dan alas kaki mengalami peningkatan yang cukup signifikan, penyebabnya adalah harga yang murah dan lebih beragam. Hal ini mengakibatkan pasar domestik dikuasai oleh barang-barang China sehingga barang buatan dalam negeri tidak mampu bersaing.

Banyaknya dampak yang ditimbulkan oleh perjanjian ACFTA ini membawa pemerintah melakukan strategi demi menyelamatkan industri-industri dalam negeri salah satunya dengan melakukan peningakatan daya saing, memproteksi produk dalam negeri sehingga produk–produk impor tidak menguasai pasar dalam negeri sehingga mampu tercipta peluang yang lebih besar untuk produk–produk dalam negeri menguasai pasar sendiri serta mengambil kebijakan-kebijakan untuk meningkatakan stabilitas ekonomi indonesia.

Selain itu walaupun ACFTA banyak membawa pengaruh negatif terhadap industri-industri dalam negeri akan tetapi Indonesia masih bisa mendapatkan peluang yaitu dengan meningkatkan ekspor produk-produk unggulan dalam negeri, Indonesia harus jeli melihat peluang yanga ada agar dapat mengambil keuntungan yang mampu menopang perekonomian indoensia. Sementara itu, tantangan utama yang dihadapi Indonesia dalam bidang perdagangan luar negeri adalah bagaimana meningkatkan daya saing terhadap ekonomi negara-negara kawasan yang makin meningkat pertumbuhan dan produktifitasnya.

Berlakunya CAFTA (China-ASEAN Free Trade Area) benar-benar merubah orientasi pasar di negara indonesia. Bagaimana tidak, belum separuh kita bekerja memperbaiki kondisi perekonomian bangsa ini sudah diterjang oleh pasar bebas yang mengakibatkan pasar industri jatuh bangun. Pemberlakuan perdagangan bebas seiring dengan globalisasi sebenarnya sudah lama diprediksi. Di era Presiden Suharto, jajaran kabinetnya sudah mendengungkan soal globalisasi perdagangan yang akan diikuti oleh terbentuknya pasar bebas khususnya dengan RRC.

Oleh sebab itu Pak Harto buru-buru menegaskan upaya peningkatan kualitas industri kecil dan menengah dengan orientasi meningkatkan daya saing. Ini tertulis di dalam buku Manajemen Presiden Suharto (Penuturan 17 Menteri).Selain itu pembatasan berpolitik bagi warga negara dengan maksud penguatan ekonomi harus didahulukan, setelah itu baru berpolitik. Namun sayang segalanya tak terealisasi seiring jatuhnya Pemerintahan Suharto.

Di dalam perjalannya, Indonesia sebagai anggota ACFTA medapatkan sisi positif dan sisi negatifnya. Adapun sisi positifnya adalah :

Ø  ACFTA akan membuat peluang kita untuk menarik investasi. Hasil dari investasi tersebut dapat diputar lagi untuk mengekspor barang-barang ke negara yang tidak menjadi peserta ACFTA;
Ø  Dengan adanya ACFTA dapat meningkatkan voume perdagangan. Hal ini dimotivasi dengan adanya persaingan ketat antara produsen. Sehingga produsen maupun para importir dapat meningkatkan volume perdagangan yang tidak terlepas dari kualitas sumber yang diproduksi;

Adapun sisi negatifnya adalah:

Ø  Penurunan  jumlah industry dalam negeri. Kehadiran produk impor dari China telah menimbulkan dampak negative terhadap lima sector industry yaitu logam, permesinan, tekstil, elektronika, dan furniture. Hal ini berakibat pada sejumlah pelaku usaha di lima industry tersebut terpaksa melakukan efisiensi melalui pengurangan tenaga kerja. Pemberlakukan ACFTA lebih banyak menguntungkan China daripada Indonesia.
Ø  Serbuan produk asing terutama dari Cina dapat mengakibatkan kehancuran sektor-sektor ekonomi yang diserbu.
Ø  Pasar dalam negeri yang diserbu produk asing dengan kualitas dan harga yangsangat bersaing akan mendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari produsen di berbagai sektor ekonomi menjadi importir atau pedagang saja.
Ø  Karakter perekomian dalam negeri akan semakin tidak mandiri dan lemah.Segalanya bergantung pada asing.
Ø  Peranan produksi terutama sektor industri manufaktur dan IKM dalam pasar nasional akan terpangkas dan digantikan impor. Dampaknya, ketersediaan lapangankerja semakin menurun.

Meskipun Cina dan ASEAN telah berupaya meliberasikan perdagangannya, pada kenyataannya tingkat tarif dan hambatan antara keduanya ternyata masih cukup tinggi, sehingga memungkinkan untuk terciptanya trade creation. Cina memberlakukan tarif rata-rata sebesar 9,4% untuk barang dari ASEAN. Sebaliknya, tarif yang diberlakukan negara ASEAN terhadap barang dari Cina secara rata-rata hanya sebesar 2,3%.

Banyaknya dampak yang ditimbulkan oleh perjanjian ACFTA ini membawa pemerintah melakukan strategi demi menyelamatkan industri-industri dalam negeri salah satunya dengan melakukan peningakatan daya saing, memproteksi produk dalam negeri sehingga produk–produk impor tidak menguasai pasar dalam negeri sehingga mampu tercipta peluang yang lebih besar untuk produk–produk dalam negeri menguasai pasar sendiri serta mengambil kebijakan-kebijakan untuk meningkatakan stabilitas ekonomi Indonesia.


2.5  DAMPAK BURUK ACFTA BAGI INDONESIA

Kementerian Perindustrian meyakini perjanjian dagang Asean-China atau Asean China Free Trade Agreement (ACFTA) pada akhirnya menjadi biang keladi banjirnya produk impor khususnya asal China karena kurangnya pemahaman terhadap kesepakatan perdagangan bebas tersebut.

"Banyaknya produk impor yang membanjiri pasar dalam negeri, karena banyak pihak tidak mempelajari dampak buruk implementasi dari kerjasama perdagangan ACFTA," kata Wakil Menteri Perindustrian Alex S.W Retraubun di Jakarta, Selasa (17/7).

Menurut Alex, untuk meningkatkan daya saing industri dalam negeri, pemerintah diharapkan mempelajari kerja sama perdagangan dengan negara lain karena dampak kerjasama ACFTA. Pasalnya, hal itu sangat merugikan Indonesia. Dia menjelaskan, minimnya pasokan energi dan tingkat suku bunga bank yang masih tinggi merupakan dua faktor utama yang menghambat daya saing industri dalam negeri.

"Kemenperin hanya menentukan 30% kebijakan untuk mengembangkan industri dan 70% di instansi lain. Namun, minimnya suplay gas masih menjadi kendala dan suku bunga perbankan merupakan salah satu kendala pembiayaan di sektor industri," paparnya.

Saat ini, ada 450 perjanjian perdagangan yang telah disepakati di seluruh dunia dan pemerintah sedang mempelajari perjanjian perdagangan dengan Korea Selatan. "Jangan sampai produk Korea Selatan menggempur pasar dalam negeri. Yang harus dilakukan adalah membuat produk yang memiliki nilai tambah agar bisa diekspor ke Korea Selatan," tuturnya.

Risiko Deindustrialisasi

Di tempat berbeda, ekonom Universitas Atmajaya, A Prasetyantoko, mengungkapkan, lemahnya daya saing Indonesia dalam menghadapi perjanjian perdagangan bebas ACFTA, bakal memperbesar risiko menuju deindustrialisasi. Hal ini diperparah dengan tidak adanya desain industri yang komprehensif dan upaya maksimal untuk menekan produksi.

"Daya saing negara kita masih rendah, sementara biaya produksi belum bisa diturunkan. Negara kita juga dihadapkan sejumlah paradoks yang bisa menghambat pertumbuhan dari negara berpendapatan menengah menjadi negara yang lebih maju," terang Prasetyantoko.

Prasetyantoko mengatakan, sebagai negara kaya, industri di tanah air masih tidak efisien. Jumlah penduduk yang besar, tidak diimbangi produktivitas yang masih rendah. Likuiditas berlebih di pasar keuangan juga tidak disertai dengan intermediasi yang cukup. "Paradoks lainnya adalah ukuran ekonomi yang besar tapi kompetisi rendah," katanya.

Sementara ekonom Senior Indef Didik J. Rachbini, mengatakan, rendahnya daya saing industri Indonesia bermula dari maraknya ekspor bahan mentah. Tni membuat industri dalam negeri kekurangan bahan baku," ujarnya.

Dia menambahkan, industri domestik juga selalu menderita kekurangan pasokan energi, terutama gas. Didik mengatakan, sebelum era reformasi, di saat ekonomi tumbuh sekitar 7%, industri pengolahan bisa tumbuh hingga 14%. Saat ini, dengan pertumbuhan 6,5%, industri pengolahan hanya tumbuh kurang dan 2%. "Jadi gejala deindustrialisasi itu bukan sebuah halusinasi," kata Didik.

Untuk meningkatkan daya saing di tengah ACFTA, pemerintah diminta menyediakna infrastruktur pendukung industri. Selain itu, kata Didik, masterplan industri unggulan harus bisa lebih implementatif. "Juga dibutuhkan daya dukung sektor keuangan," katanya. Selain itu, pemerintah juga diminta melarang mengekspor bahan mentah. "Produksi energi juga harus diprioritaskan untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri," kata Didik.

Di pihak lain, Direktur Eksekutif Indef, Ahmad Erani Yustika, mengatakan, hingga kini belum ada perubahan signifikan pada struktur pertumbuhan ekonomi Indonesia. "Masih ditopang konsumsi. Agak sulit mengubah ini dalam beberapa waktu mendatang. Pertumbuhan juga masih didominasi sektor nontradeable," katanya.






BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN DAN SARAN

·         KESIMPULAN
ACFTA  merupakan bentuk dari kerjasama perdagangan bebas kawasan regional ternyata tidak serta merta memberikan dampak yang positif bagi semua sektor komoditas. Perdagangan sektor pertanian Indonesia dengan Cina diketahui surplus yang diperoleh negara Indonesia lebih didominasi oleh perkebunan. Sedangkan untuk komoditas Hortikultura Indonesia hanya mengalami keuntungan yang lebih kecil dikarenakan hanya sebagian kecil produk tersebut yang mengalami permintaan perluasan pangsa pasar ke Cina. Berbarengan dengan itu, produk Hortikultura dari Cina terus membanjiri pasar lokal Indonesia. Akibatnya tentu saja berdampak negatif/buruk bagi petani dan pihak yang terkait pada komoditas hortikultura lokal.

Karena produk meraka harus bersaing dengan produk dari Cina yang membanjiri pasar domestik dengan harga yang murah di-bandingkan dengan produk lokal. Di samping itu, ACFTA merupakan bentuk kerjasama dagang di era globalisasi yang secara sadar atau tidak membawa kita pada situasi ekonomi neoliberal akibat dari perdagangan tanpa hambtan.

Dengan adanya ACFTA cita-cita Indonesia untuk meraih ketahanan pangan justru semakin sulit. Perdagangan bebas seperti ini cenderung merugikan petani dalam negeri terutama dalam masalah persaingan harga. Dengan kalah saingnya produk pertanian kita dibanding produk luar, mengakibatkan turunnya minat di pertanian sehingga produksi lokal pun menurun. Hal ini  mengakibatkan ketergantungan yang lebih jauh terhadap barang impor. Apakah title miskin produk pertanian bisa melekat terhadap negara agraris beberapa tahun kedepan? Miris sekali !

·         SARAN

1.      Sebelum ACFTA diberlakukan, pemerintah Indonesia seharusnya melakukan survei opini publik untuk mengetahui persepsi masyarakat mengenai ACFTA. Karena dengan survei, pemerintah dapat mengetahui kekhawatiran mayoritas publik dan ini dapat dijadikan ukuran untuk menilai dampak ACFTA terhadap perdagangan Indonesia dan dari situ pemerintah Indonesia dapat menyiapkan strategi besar apa yang mesti dilakukan untuk menghadapi ACFTA.
2.      Kalau memang pemerintah indonesia tidak mampu berkompetisi dengan China untuk beberapa sektor perdagangan, maka strategi yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mengeluarkan kebijakan safeguard, yakni pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP).
3.      Melihat dari sisi negative yang disebabkan oleh adanya ACFTA ini, maka pemerintah Indonesia harus meningkatkan daya saing agar dapat berkompetisi dengan China. Caranya adalah dengan memperbaiki masalah infrastruktur. Karena tidak mungkin bagi Indonesia untuk bersaing dengan China bila tidak ditopang dengan infrastruktur yang memadai, serta untuk menstabilkan kondisi industri nasional, pemerintah hendaknya mengerti apa yang dibutuhkan oleh para pelaku ekonomi.
4.      Pemerintah juga harus meningkatkan penjagaan akan terjadinya penyulundupan karena hal itu sangat merugikan para pengusaha.
5.      Perlu adanya pelatihan kewirausaan untuk menciptakan jiwa kewirausahaan bagi kaum muda sehingga akan bisa menciptakan pengusaha baru.






DAFTAR PUSTAKA





http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/1597

http://anakkampus06.blogspot.com/2011/12/pengaruh-acfta-terhadap-perekonomian-di.html (diakses pada tanggal 20 januari 2014)

http://irtask.blogspot.com/2013/05/analisis-dampak-adanya-acfta-asean.html (diakses pada tanggal 20 januari 2014)

http://id.scribd.com/doc/55624141/%E2%80%9C-Analisis-Dampak-ACFTA-Asean-China-Free-Trade-Area-dalam-Kurun-Waktu-2004-2010-dan-Kebijakan-Pemerintah-Indonesia-di-Balik-Keputusan Penandatangan (diakses pada tanggal 20 januari 2014)

http://www.tandef.net/dampak-globalisasi-terhadap-kesejahteraan-masyarakat (diakses pada tanggal 20 januari 2014)