PEMBERLAKUAN
KELUASAN PERDAGANGAN BEBAS ASEAN – CHINA ATAU ASEAN – CHINA FREE TRADE AREA
(ACFTA) PADA NEGARA INDONESIA
By
Rani
Kusriani
Mahasiswi
Akuntansi Semester 5 Di Universitas Satyagama, Jakarta, Indonesia
Email : ranikus16@gmail.com
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara berkembang
yang sudah seharusnya mengembangkan potensinya dalam berbagai hal. Termasuk dalam
segi perkembangan ekonomi yang masih tergolong rendah. Salah satu jalan
keluarnya adalah bekerjasama dengan negara-negara lain di dunia.
Globalisasi juga merupakan suatu
fenomena yang tidak dapat dibendung lagi. Di mana sudah tidak ada lagi kendala
untuk melakukan mobilisasi baik dalam bentuk produk, jasa, buruh maupun modal.
Trend globalisasi ini menghasilkan sebuah fenomena free trade yang lebih
massive lagi. Di mana negara-negara semakin memiliki keleluasaan dalam menjalin
kerjasama perdagangan dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonominya.
Masalah perekonomian merupakan
masalah yang tiada batasnya. Indonesia merupakan salah satu dari 3 negara Asia,
disamping China dan India yang tetap tumbuh positif saat negara lain terpuruk
akibat krisis finansial global. Ini merupakan suatu prestasi dan optimisme bagi
masa depan perekonomian Indonesia. Dengan kondisi ini, pemerintah mengadakan
Asean-China Trade Agreement (ACFTA) guna menghadapi persaingan global.
Persiapan Indonesia dalam menghadapi ACFTA merupakan salah satu bentuk kerja
sama liberalisasi ekonomi yang banyak dilakukan Indonesia dalam 10 tahun
terakhir ini.
Perdagangan bebas ASEAN-China dimulai
pada awal tahun 2010, ini berarti
perdagangan di Asia Tenggara dan China mengadopsi sistem baru, yaitu sistem
yang bebas hambatan. Tarif dan bea masuk yang selama ini dianggap sebagai
penghambat telah dihapuskan agar semua komoditas yang diperdagangkan mendapat
perlakuan sama di kawasan tersebut. Kesepakatan pembentukan kawasan perdagangan
bebas ASEAN-China merupakan akibat dari adanya globalisasi yang secara tidak
langsung memaksa negara-negara untuk melakukan kerja sama guna mempertahankan
eksistensinya di dunia Internasional.
Perjanjian ASEAN-Cina Free Trade Area
(ACFTA) menurunkan tarif pajak dari 90% untuk barang impor menjadi nol. Negara
ASEAN, terutama yang sedang berkembang (Singapura dianggap sebagai negara
maju), akan dibanjiri dengan laju barang dibawah ACFTA. Peningkatan akses
terhadap barang murah, dalam konteks pengeluaran, akan sangat menguntungkan
bagi masyarakat miskin.
Namun, dengan adanya perdagangan
bebas ini, justru masyarakat ASEAN sedikit khawatir, terutama Indonesia. karena
jika dibandikan, produk Indonesia kalah bersaing dengan produk China. Bahkan
Negara-negara ASEAN juga mungkin akan sedikit dirugikan atau mengalami deficit
dalam perdagangan, serta China akan mengalami surplus, karena dengan harga yang
murah dan kualitas barang yang bagus dan terjamin. Terlebih lagi, sebelum
diadakannya perjanjian ini, China sudah menguasai pasar-pasar di Asia, terutama
di Asia Tenggara. Olehnya itu, Indonesia perlu melakukan berbagai Persiapan
guna menghadapi kondisi perdagangan bebas tersebut. Persiapan ini sangat perlu
dilakukan karena adanya fakta bahwa sebelum era perdagangan bebas ASEAN-China
diberlakukan pun, pasar Indonesia sudah kesulitan menghadapi gempuran barang
impor ilegal dari China.
1.2 RUMUSAN MASALAH
·
Apa
itu ACFTA ?
·
Apa
saja kesepakatan ACFTA dengan Indonesia?
·
Apa
dampak ACFTA bagi Indonesia?
1.3 MAKSUD DAN TUJUAN
·
Untuk
mengetahui lebih jauh tentang ACFTA.
·
Untuk
mengetahui kesepakatan yang dibuat ACFTA dengan Indonesia.
·
Untuk
dapat mengetahui dampak ACFTA di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN ACFTA
ACFTA adalah suatu kawasan perdagangan bebas di antara
anggota-anggota ASEAN dan Cina. Kerangka kerjasama kesepakatan ini
ditandatangani di Phnom Penh, Cambodia, 4 November 2002, dan ditujukan bagi
pembentukan kawasan perdagangan bebas pada tahun 2010, tepatnya 1 Januari 2010.
Setelah pembentukannya ini ia menjadi kawasan perdagangan bebas terbesar
sedunia dalam ukuran jumlah penduduk dan ketiga terbesar dalam ukuran volume
perdagangan, setelah Kawasan Perekonomian Eropa dan NAFTA.
Usulan pembentukan kawasan ini dicetuskan Cina pada bulan
November 2000. Pada saat itu Cina memprediksi akan menggeser Amerika Serikat
pada posisi mitra dagang utama ketiga ASEAN, setelah Jepang dan Uni Eropa. Pada
rentang waktu antara 2003 dan 2008, volume perdagangannya dengan ASEAN tumbuh
dari US$59.6 milyar menjadi US$192.5 milyar. Cina juga diprediksi menjadi
negara eksporter dunia terbesar pada tahun 2010.
Pembentukan ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) merupakan
tindak lanjut dari kesepakatan antara negara-negara ASEAN dengan Republik
Rakyat China mengenai Framework Agreement on Comprehensive Economic
Co-operation between the Association of South East Asian Nations and the
People’s Republic of China (“Framework Agreement”).
Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 5 November 2002
dan melahirkan tiga kesepakatan, yaitu Agreement on Trade in Goods atau
kesepakatan perdagangan di bidang barang (29 November 2004), Agreement on Trade
in Service atau kesepakatan perdagangan di bidang jasa (14 Januari 2007), dan
Agreement on Investment atau kesepakatan di bidang investasi (15 Agustus 2007).
ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) adalah sebuah persetujuan
kerjasama ekonomi regional yang mencakup perdagangan bebas antara ASEAN
(Assosiation of South East Asian Nation) dengan China. Persetujuan ini telah
disetujui dan ditandatangani oleh negara-negara ASEAN dan China pada tanggal 29
November 2004. Dalam kerjasama ini, hambatan-hambatan tarif dan non-tarif
dihilangkan atau dikurangi dalam rangka mewujudkan perdagangan bebas dalam
kawasan regional ASEAN dan China. Namun, tidak semua anggota ASEAN menyetujui
penghapusan tarif dalam waktu bersamaan. ASEAN6 yang terdiri dari Indonesia,
Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam, dan filipina menyetujui
penghapusan per 1 januari 2010, sedangkan CMLV (Camboja, Myanmar, Laos, dan
Vietnam) baru akan mengeliminasi dan menghapus tarif per 1 Januari 2015.
Tidak hanya itu, negara-negara yang telah menyetujuinya juga
akan meningkatkan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi serta
meningkatkan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para
Pihak ACFTA. Di dalam Framework
Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between the ASEAN and
People’s Republic of China, kedua pihak
sepakat akan melakukan kerjasama yang lebih intensif di beberapa bidang seperti
pertanian, teknologi informasi, pengembangan SDM, investasi, pengembangan
Sungai Mekong, perbankan, keuangan, transportasi, industri, telekomunikasi,
pertambangan, energi, perikanan, kehutanan, produk-produk hutan dan sebagainya.
Kerjasama ekonomi ini dilakukan untuk mencapai tujuan demi meningkatkan
kesejahteraan masyarakat ASEAN dan China.
2.2 PETA ACFTA
Perjanjian ACFTA ini telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia
dengan KEPPRES No.48 tahun 2004 dan mulai diberlakukan pada tanggal 1 januari
2010. Namun yang jadi kendala utama pelaksanaan berlakunya perjanjian ACFTA di
Indonesia, bahwa ternyata banyak pihak yang meminta agar waktu berlakunya
perjanjian ini agar direnegoisasi kembali oleh pemerintah, yang menurut
prediksi para pelaku bisnis dan pemerhati ekonomi Indonesia akan dapat
merontokkan ketahanan ekonomi nasional dari serbuan produk China yang masuk ke
Indonesia.
Adapun yang perlu diperhatikan selanjutnya oleh pemerintah
Indonesia dalam merenegosi-asikan kembali ACFTA dalam lingkup pos-pos tertentu
yang dianggap belum siap menghadapi pelaksanaan ACFTA di Indonesia, maka
pemerintah dalam pengertian paham monisme yang dianut pada UU No. 24 tahun
2004, khususnya Pasal 4 ayat (2) dapat mengarahkan kepada kesamaan kedudukan
dan saling menguntungkan antarnegara peserta.
Namun kendalanya adalah UU ini hanya berlaku di Indonesia,
maka tugas pemerintah yang paling berat adalah meyakinkan negara sesama anggota
ASEAN agar mendukung rencana yang diusung pemerintah Indonesia mengenai ketidak
siapan beberapa post yang belum siap sepenuhnya menghadapi akibat dari
pelaksanaan perdagangan bebas ACFTA di Indonesia.
Selanjutnya, langkah yang tidak kalah pentingnya adalah membuat
aturan yang jelas perihal persamaan kedudukan para negara peserta dalam
perjanjian ACFTA ini, demi untuk menghindarkan dominasi negara terkuat
khususnya mengenai penentuan harga-harga atas produk barang maupun jasa, (angan
sampai Indonesia hanya menjadi Price Taker, sementara Negara Maju menjadi Price
Maker.
Menyediakan dan membentuk aturan yang tegas terkait dengan
ketentuan standar nasional dari beberapa negara peserta dan ketentuan anti
dumping. Sehingga dengan adanya aturan main yang jelas tersebut, akan dapat
ditentukan standar minimum yang harus dipenuhi untuk dapat menembus pangsa
pasar yang disepakati dalam perjanjian ACFTA, disamping dengan adanya ketentuan
yang jelas akan sanksi dan aturan anti dumping juga akan dapat menciptakan fair
trade competition dan bukan unfair trade competion. Disinilah fungsi utama
pemerintah sebagai pemegang kewenangan atas regulasi, memproteksi ketahanan
perekonomian nasional dari gempuran masuknya produk-produk asing ke dalam
negeri.
Tahun 2009 yang penuh tantangan telah kita lewati. Kita patut
bersyukur di bawah tekanan perekonomian global yang masih belum sepenuhnya
pulih, perekonomian nasional masih mampu tumbuh.
Dari sisi fundamental, sejumlah indikator menunjukkan bahwa
kondisi ekonomi makro Indonesia saat ini lebih meyakinkan. KADIN mencatat,
pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan ketiga 2009 sudah kembali naik
menjadi 4,2 persen dari angka terendah 4,0 persen pada triwulan sebelumnya.
Laju inflasi tahun 2009 mencatat angka terendah sebesar 2,7 persen. Sementara
itu, nilai tukar mulai stabil pada kisaran Rp 9.000-Rp 9.500 per dollar AS.
Ekspor year on year sudah beberapa bulan terakhir meningkat
kembali, juga pertumbuhan produksi industri besar dan menengah. Penjualan
sepeda motor, mobil, dan semen menggeliat. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
menembus 2.600 pada minggu kedua Januari 2010 dan masih bertahan hingga akhir
minggu lalu. Tercatat pada hari penutupan perdagangan Bursa Efek Indonesia
2009, investor asing membeli lebih dari satu miliar saham (Rp 2,5 triliun) dan
melakukan transaksi jual 700-an juta lembar saham (Rp 1,7 triliun) sehingga
pada posisi pembelian bersih. Porsi asing tampaknya juga mendominasi.
Modal asing meminati Surat Utang Negara (SUN) dan Sertifikat
Bank Indonesia (SBI). Tercatat pada akhir 2009 investor asing membeli SBI Rp
44,1 triliun dan pada akhir minggu pertama Januari 2010 menjadi Rp 49,5
triliun. Sedangkan investor asing membeli SUN hingga akhir tahun lalu mencapai
Rp 106,3 triliun dan pada minggu pertama Januari 2010 menjadi Rp 109 triliun.
Data di perbankan hingga November tahun lalu menunjukkan bahwa sejumlah Rp
1.398 triliun kredit tersalurkan dengan penekanan pada kredit sektor
perdagangan, restoran dan hotel mencapai Rp 290 triliun, kredit manufaktur Rp
243 triliun, jasa dunia usaha Rp 146 triliun, dan sisanya untuk pertanian,
pertambangan, peralatan, konstruksi, pengangkutan, dan telekomunikasi.
Karena itu, International Institute for Management
Development dalam publikasi tahunan terbarunya, World Competitiveness Yearbook
(2009), menempatkan daya saing Indonesia di posisi ke-42 tahun 2009 dari urutan
ke-51 tahun 2008. Memang harus diakui bahwa peningkatan kondisi Makro ini bukan
disebabkan oleh pembenahan mendasar di dalam negeri, melainkan lebih karena
negara-negara lain banyak yang terkapar akibat krisis global. Kendatipun
demikian, momentum ini harus cepat dimanfaatkan untuk melakukan perbaikan
terhadap unsur-unsur utama penentu daya saing. Jika kita abaikan lagi,
negara-negara yang kini mengalami kesulitan ekonomi akan segera pulih dan
berpotensi segera mengejar Indonesia.
2.3 TUJUH KESEPAKATAN RI-CHINA DALAM
ACFTA
Pemerintah Indonesia dan China siap menjalin kerjasama
terkait ASEAN-China Free Trade Agreement. Ada lima kesepakatan, di antaranya
China mengizinkan pembukaan cabang Bank Mandiri dan pinjaman kepada LPEI, serta
membuka fasilitas kredit ekspor untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Dalam Pertemuan Komisi Bersama (Joint Commission Meeting/JMC)
ke-10 di Yogyakarta, Sabtu 3 April 2010, Indonesia diwakili oleh Menteri
Perdagangan Mari Elka Pangestu. Sedangkan China diwakili Menteri Perdagangan
Chen Deming. JMC merupakan forum untuk
membahas isu perdagangan investasi, kerjasama keuangan dan pembangunan.
JCM ke-10 hari ini dilaksanakan dalam suasana persahabatan
dan kerjasama sehingga menghasilkan kesepakatan yang saling menguntungkan kedua
belah pihak. Beberapa hasil kesepakatan tersebut antara lain:
Pertama, pihak China sepakat untuk
memfasilitasi akses pasar bagi beberapa buah-buahan tropis (pisang, nenas,
rambutan) dan sarang burung walet Indonesia untuk dapat memasuki pasar China.
Kedua, kedua pihak sepakat untuk membentuk
Kelompok Kerja Resolusi Perdagangan (Working Group on Trade Resolution/WGTR),
yang bertujuan untuk memfasilitasi perdagangan yang lancar di antara kedua
negara; juga memfasilitasi pembukaan Cabang Bank Mandiri di RRT demi memperkuat
hubungan transaksi langsung perbankan.
Ketiga, atas permintaan Indonesia, dalam
JCM ini delegasi RRT menyetujui pembukaan cabang Bank Mandiri di RRT , sehingga
akan memperkuat hubungan langsung transaksi perbankan kedua negara.
Keempat, kerjasama antara Lembaga Pembiayaan
Ekspor Indonesia (LPEI) dan China Exim Bank dimana kedua pihak menandatangani
perjanjian pinjaman sebesar US$ 100 juta dari CEB kepada LPEI. LPEI juga saat
ini dalam tahap finalisasi MoU dan Industrial & Commercial Bank of China
(ICBC) untuk penyediaan kredit sebanyak US$ 250 juta kepada LPEI. Pinjaman
tersebut akan digunakan oleh LPEI sebagai fasilitas kredit untuk mendukung perusahaan-perusahaan
di kedua negara terkait dengan proyek-proyek perdagangan dan investasi dalam
berbagai sektor-sektor prioritas yang disetujui oleh kedua belah pihak termasuk
perdagangan dan investasi barang modal, proyek-proyek sektor infrastruktur, energi
dan konstruksi;
Kelima, kedua pihak setuju untuk
memaksimalkan penggunaan Pinjaman Kredit Ekspor Preferensial (Preferential
Export Buyers Credit) sebesar US$ 1,8 miliar dan Pinjaman Konsesi Pemerintah
(Government Concessional Loan) sebesar 1,8 miliar RMB untuk dapat dipergunakan
oleh Indonesia dalam mengembangkan berbagai proyek infrastruktur. Adapun
proyek-proyek yang telah diselesaikan adalah proyek Jembatan Suramadu dan
pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara Labuhan Angin.
Sementara, pembangunan Waduk Jati Gede masih dalam proses.
Terdapat pula 6 proyek baru yang telah disetujui oleh kedua belah pihak, yaitu:
pembangkit Listrik Tenaga Uap Parit Baru (Kalimantan Barat) dan pengadaan
material untuk jalur sepanjang 1.000 km and 200 unit turn out yang masih dalam
proses pengadaan; serta konstruksi Jalan Tol antara Medan dan Kuala Namu
(Sumatera Utara); Jembatan Tayan (Kalimantan Barat); Pengembangan Jalan Tol
Tahap I: Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Jawa Barat); dan Jembatan Kendari (Sulawesi
Tenggara).
Keenam, kedua belah pihak telah
menyelesaikan Perjanjian Perluasan dan Pendalaman Kerjasama Bilateral Ekonomi
dan Perdagangan (Agreement on Expanding and Deepening Bilateral Economic
Cooperation) yang akan ditandatangani pada saat kunjungan Perdana Menteri Wen
Jiabao ke Indonesia pada akhir bulan ini.
Ketujuh, membahas Agreed Minutes of the
Meeting for Further Strengthening Economic and Trade Cooperation) yang antara
lain berisi:
A. Deklarasi Bersama antara Indonesia
dan RRT mengenai Kemitraan Strategis yang telah ditandatangani oleh kedua
Pimpinan Negara pada bulan April 2005 menjadi dasar untuk lebih memperkuat
kerjasama perdagangan dan ekonomi antara kedua negara.
B. Berdasarkan Deklarasi ini, kedua
belah pihak akan mengembangkan perspektif strategis dalam mengatasi kepentingan
jangka panjang dan membawa hubungan ke tingkat yang baru untuk kepentingan
kedua banga dan negara.
C. Untuk mencapai tujuan tersebut,
Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) tetap menjadi dasar strategis
dimana masing-masing pihak harus penuh mengimplementasikan perjanjian tersebut
secara menyeluruh dan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.
D. Kedua pihak akan menetapkan
pertumbuhan perdagangan bilateral yang tinggi dan berkelanjutan, dimana jika
terdapat ketidakseimbangan perdagangan, pihak yang mengalami surplus
perdagangan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan termasuk mendorong
impor lebih lanjut dan memberikan dukungan yang diperlukan.
E. Agreed minutes ini merupakan upaya
untuk menindaklanjuti concern beberapa industri di Indonesia terkait dengan
dampak dari Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA). Kedua pihak percaya bahwa
komitmen bersama antara kedua pemerintah, disertai dengan komitmen-komitmen
dari kedua komunitas bisnis, akan dapat mengatasi kekhawatiran tersebut.
2.4 PENGARUH ACFTA TERHADAP INDONESIA
ACFTA membawa dampak terhadap
industri-industri domestik dalam negeri hal ini membawa pengaruh terhadap
stabilitas Indonesia. ini dilihat dari dua sektor industri yaitu industri
tekstil dan alas kaki. Impor Indonesia dari China untuk barang-barang tekstil dan
alas kaki mengalami peningkatan yang cukup signifikan, penyebabnya adalah harga
yang murah dan lebih beragam. Hal ini mengakibatkan pasar domestik dikuasai
oleh barang-barang China sehingga barang buatan dalam negeri tidak mampu
bersaing.
Banyaknya dampak yang ditimbulkan
oleh perjanjian ACFTA ini membawa pemerintah melakukan strategi demi
menyelamatkan industri-industri dalam negeri salah satunya dengan melakukan
peningakatan daya saing, memproteksi produk dalam negeri sehingga produk–produk
impor tidak menguasai pasar dalam negeri sehingga mampu tercipta peluang yang
lebih besar untuk produk–produk dalam negeri menguasai pasar sendiri serta
mengambil kebijakan-kebijakan untuk meningkatakan stabilitas ekonomi
indonesia.
Selain itu walaupun ACFTA banyak
membawa pengaruh negatif terhadap industri-industri dalam negeri akan tetapi
Indonesia masih bisa mendapatkan peluang yaitu dengan meningkatkan ekspor
produk-produk unggulan dalam negeri, Indonesia harus jeli melihat peluang yanga
ada agar dapat mengambil keuntungan yang mampu menopang perekonomian indoensia.
Sementara itu, tantangan utama yang dihadapi Indonesia dalam bidang perdagangan
luar negeri adalah bagaimana meningkatkan daya saing terhadap ekonomi
negara-negara kawasan yang makin meningkat pertumbuhan dan produktifitasnya.
Berlakunya CAFTA (China-ASEAN Free
Trade Area) benar-benar merubah orientasi pasar di negara indonesia. Bagaimana
tidak, belum separuh kita bekerja memperbaiki kondisi perekonomian bangsa ini
sudah diterjang oleh pasar bebas yang mengakibatkan pasar industri jatuh
bangun. Pemberlakuan perdagangan bebas seiring dengan globalisasi sebenarnya
sudah lama diprediksi. Di era Presiden Suharto, jajaran kabinetnya sudah
mendengungkan soal globalisasi perdagangan yang akan diikuti oleh terbentuknya
pasar bebas khususnya dengan RRC.
Oleh sebab itu Pak Harto buru-buru
menegaskan upaya peningkatan kualitas industri kecil dan menengah dengan
orientasi meningkatkan daya saing. Ini tertulis di dalam buku Manajemen
Presiden Suharto (Penuturan 17 Menteri).Selain itu pembatasan berpolitik bagi
warga negara dengan maksud penguatan ekonomi harus didahulukan, setelah itu
baru berpolitik. Namun sayang segalanya tak terealisasi seiring jatuhnya
Pemerintahan Suharto.
Di dalam perjalannya, Indonesia
sebagai anggota ACFTA medapatkan sisi positif dan sisi negatifnya. Adapun sisi
positifnya adalah :
Ø ACFTA akan membuat peluang kita untuk
menarik investasi. Hasil dari investasi tersebut dapat diputar lagi untuk
mengekspor barang-barang ke negara yang tidak menjadi peserta ACFTA;
Ø Dengan adanya ACFTA dapat
meningkatkan voume perdagangan. Hal ini dimotivasi dengan adanya persaingan
ketat antara produsen. Sehingga produsen maupun para importir dapat
meningkatkan volume perdagangan yang tidak terlepas dari kualitas sumber yang
diproduksi;
Adapun sisi negatifnya adalah:
Ø Penurunan jumlah industry dalam negeri. Kehadiran
produk impor dari China telah menimbulkan dampak negative terhadap lima sector
industry yaitu logam, permesinan, tekstil, elektronika, dan furniture. Hal ini
berakibat pada sejumlah pelaku usaha di lima industry tersebut terpaksa
melakukan efisiensi melalui pengurangan tenaga kerja. Pemberlakukan ACFTA lebih
banyak menguntungkan China daripada Indonesia.
Ø Serbuan produk asing terutama dari
Cina dapat mengakibatkan kehancuran sektor-sektor ekonomi yang diserbu.
Ø Pasar dalam negeri yang diserbu
produk asing dengan kualitas dan harga yangsangat bersaing akan mendorong
pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari produsen di berbagai sektor ekonomi
menjadi importir atau pedagang saja.
Ø Karakter perekomian dalam negeri akan
semakin tidak mandiri dan lemah.Segalanya bergantung pada asing.
Ø Peranan produksi terutama sektor
industri manufaktur dan IKM dalam pasar nasional akan terpangkas dan digantikan
impor. Dampaknya, ketersediaan lapangankerja semakin menurun.
Meskipun Cina dan ASEAN telah
berupaya meliberasikan perdagangannya, pada kenyataannya tingkat tarif dan
hambatan antara keduanya ternyata masih cukup tinggi, sehingga memungkinkan
untuk terciptanya trade creation. Cina memberlakukan tarif rata-rata sebesar
9,4% untuk barang dari ASEAN. Sebaliknya, tarif yang diberlakukan negara ASEAN
terhadap barang dari Cina secara rata-rata hanya sebesar 2,3%.
Banyaknya dampak yang ditimbulkan
oleh perjanjian ACFTA ini membawa pemerintah melakukan strategi demi menyelamatkan
industri-industri dalam negeri salah satunya dengan melakukan peningakatan daya
saing, memproteksi produk dalam negeri sehingga produk–produk impor tidak
menguasai pasar dalam negeri sehingga mampu tercipta peluang yang lebih besar
untuk produk–produk dalam negeri menguasai pasar sendiri serta mengambil
kebijakan-kebijakan untuk meningkatakan stabilitas ekonomi Indonesia.
2.5 DAMPAK BURUK ACFTA BAGI INDONESIA
Kementerian Perindustrian meyakini
perjanjian dagang Asean-China atau Asean China Free Trade Agreement (ACFTA)
pada akhirnya menjadi biang keladi banjirnya produk impor khususnya asal China
karena kurangnya pemahaman terhadap kesepakatan perdagangan bebas tersebut.
"Banyaknya produk impor yang
membanjiri pasar dalam negeri, karena banyak pihak tidak mempelajari dampak
buruk implementasi dari kerjasama perdagangan ACFTA," kata Wakil Menteri
Perindustrian Alex S.W Retraubun di Jakarta, Selasa (17/7).
Menurut Alex, untuk meningkatkan daya
saing industri dalam negeri, pemerintah diharapkan mempelajari kerja sama
perdagangan dengan negara lain karena dampak kerjasama ACFTA. Pasalnya, hal itu
sangat merugikan Indonesia. Dia menjelaskan, minimnya pasokan energi dan tingkat
suku bunga bank yang masih tinggi merupakan dua faktor utama yang menghambat
daya saing industri dalam negeri.
"Kemenperin hanya menentukan 30%
kebijakan untuk mengembangkan industri dan 70% di instansi lain. Namun,
minimnya suplay gas masih menjadi kendala dan suku bunga perbankan merupakan
salah satu kendala pembiayaan di sektor industri," paparnya.
Saat ini, ada 450 perjanjian
perdagangan yang telah disepakati di seluruh dunia dan pemerintah sedang
mempelajari perjanjian perdagangan dengan Korea Selatan. "Jangan sampai
produk Korea Selatan menggempur pasar dalam negeri. Yang harus dilakukan adalah
membuat produk yang memiliki nilai tambah agar bisa diekspor ke Korea
Selatan," tuturnya.
Risiko Deindustrialisasi
Di tempat berbeda, ekonom Universitas
Atmajaya, A Prasetyantoko, mengungkapkan, lemahnya daya saing Indonesia dalam
menghadapi perjanjian perdagangan bebas ACFTA, bakal memperbesar risiko menuju
deindustrialisasi. Hal ini diperparah dengan tidak adanya desain industri yang
komprehensif dan upaya maksimal untuk menekan produksi.
"Daya saing negara kita masih
rendah, sementara biaya produksi belum bisa diturunkan. Negara kita juga
dihadapkan sejumlah paradoks yang bisa menghambat pertumbuhan dari negara
berpendapatan menengah menjadi negara yang lebih maju," terang
Prasetyantoko.
Prasetyantoko mengatakan, sebagai
negara kaya, industri di tanah air masih tidak efisien. Jumlah penduduk yang
besar, tidak diimbangi produktivitas yang masih rendah. Likuiditas berlebih di
pasar keuangan juga tidak disertai dengan intermediasi yang cukup.
"Paradoks lainnya adalah ukuran ekonomi yang besar tapi kompetisi
rendah," katanya.
Sementara ekonom Senior Indef Didik
J. Rachbini, mengatakan, rendahnya daya saing industri Indonesia bermula dari
maraknya ekspor bahan mentah. Tni membuat industri dalam negeri kekurangan
bahan baku," ujarnya.
Dia menambahkan, industri domestik
juga selalu menderita kekurangan pasokan energi, terutama gas. Didik
mengatakan, sebelum era reformasi, di saat ekonomi tumbuh sekitar 7%, industri
pengolahan bisa tumbuh hingga 14%. Saat ini, dengan pertumbuhan 6,5%, industri
pengolahan hanya tumbuh kurang dan 2%. "Jadi gejala deindustrialisasi itu
bukan sebuah halusinasi," kata Didik.
Untuk meningkatkan daya saing di
tengah ACFTA, pemerintah diminta menyediakna infrastruktur pendukung industri.
Selain itu, kata Didik, masterplan industri unggulan harus bisa lebih
implementatif. "Juga dibutuhkan daya dukung sektor keuangan,"
katanya. Selain itu, pemerintah juga diminta melarang mengekspor bahan mentah.
"Produksi energi juga harus diprioritaskan untuk mencukupi kebutuhan dalam
negeri," kata Didik.
Di pihak lain, Direktur Eksekutif
Indef, Ahmad Erani Yustika, mengatakan, hingga kini belum ada perubahan
signifikan pada struktur pertumbuhan ekonomi Indonesia. "Masih ditopang
konsumsi. Agak sulit mengubah ini dalam beberapa waktu mendatang. Pertumbuhan
juga masih didominasi sektor nontradeable," katanya.
BAB III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN DAN SARAN
·
KESIMPULAN
ACFTA
merupakan bentuk dari kerjasama perdagangan bebas kawasan regional
ternyata tidak serta merta memberikan dampak yang positif bagi semua sektor
komoditas. Perdagangan sektor pertanian Indonesia dengan Cina diketahui surplus
yang diperoleh negara Indonesia lebih didominasi oleh perkebunan. Sedangkan
untuk komoditas Hortikultura Indonesia hanya mengalami keuntungan yang lebih
kecil dikarenakan hanya sebagian kecil produk tersebut yang mengalami
permintaan perluasan pangsa pasar ke Cina. Berbarengan dengan itu, produk
Hortikultura dari Cina terus membanjiri pasar lokal Indonesia. Akibatnya tentu
saja berdampak negatif/buruk bagi petani dan pihak yang terkait pada komoditas
hortikultura lokal.
Karena produk meraka harus bersaing
dengan produk dari Cina yang membanjiri pasar domestik dengan harga yang murah
di-bandingkan dengan produk lokal. Di samping itu, ACFTA merupakan bentuk
kerjasama dagang di era globalisasi yang secara sadar atau tidak membawa kita
pada situasi ekonomi neoliberal akibat dari perdagangan tanpa hambtan.
Dengan adanya ACFTA cita-cita
Indonesia untuk meraih ketahanan pangan justru semakin sulit. Perdagangan bebas
seperti ini cenderung merugikan petani dalam negeri terutama dalam masalah
persaingan harga. Dengan kalah saingnya produk pertanian kita dibanding produk
luar, mengakibatkan turunnya minat di pertanian sehingga produksi lokal pun
menurun. Hal ini mengakibatkan
ketergantungan yang lebih jauh terhadap barang impor. Apakah title miskin
produk pertanian bisa melekat terhadap negara agraris beberapa tahun kedepan?
Miris sekali !
·
SARAN
1. Sebelum ACFTA diberlakukan, pemerintah
Indonesia seharusnya melakukan survei opini publik untuk mengetahui persepsi
masyarakat mengenai ACFTA. Karena dengan survei, pemerintah dapat mengetahui
kekhawatiran mayoritas publik dan ini dapat dijadikan ukuran untuk menilai
dampak ACFTA terhadap perdagangan Indonesia dan dari situ pemerintah Indonesia
dapat menyiapkan strategi besar apa yang mesti dilakukan untuk menghadapi
ACFTA.
2. Kalau memang pemerintah indonesia
tidak mampu berkompetisi dengan China untuk beberapa sektor perdagangan, maka
strategi yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mengeluarkan
kebijakan safeguard, yakni pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP).
3. Melihat dari sisi negative yang
disebabkan oleh adanya ACFTA ini, maka pemerintah Indonesia harus meningkatkan
daya saing agar dapat berkompetisi dengan China. Caranya adalah dengan
memperbaiki masalah infrastruktur. Karena tidak mungkin bagi Indonesia untuk
bersaing dengan China bila tidak ditopang dengan infrastruktur yang memadai,
serta untuk menstabilkan kondisi industri nasional, pemerintah hendaknya
mengerti apa yang dibutuhkan oleh para pelaku ekonomi.
4. Pemerintah juga harus meningkatkan
penjagaan akan terjadinya penyulundupan karena hal itu sangat merugikan para
pengusaha.
5. Perlu adanya pelatihan kewirausaan
untuk menciptakan jiwa kewirausahaan bagi kaum muda sehingga akan bisa
menciptakan pengusaha baru.
DAFTAR PUSTAKA
Las Vegas casino opens its doors in mid-2021 - drmcd
BalasHapusWynn Las 충주 출장마사지 Vegas 수원 출장안마 opened its doors 평택 출장샵 to the public in mid-2021, marking the first 안산 출장샵 time Vegas has opened a casino in 김천 출장마사지