TUGAS MATAKULIAH
Perekonomian Indonesia
Judul :
Pemanfaatan Pasar Bebas Dalam Meningkatkan Perekonomian
Daya Saing
oleh :
(Kelompok 2)
(Kelompok 2)
1.
Damayanti
2.
Marwiyah
3.
Nunu Nugraha
4.
Rani Kusriani
5.
Sunarni
Dosen Pengampu
Dr. Budi Supriyatno, MM., MSi.
FAKULTAS EKONOMI
SEMESTER 5 / PAGI
UNIVERSITAS SATYAGAMA
JAKARTA
Kata Pengantar
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat
dan hidayahNya yang diberikan kepada saya sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Pemanfaatan Pasar
Bebas Dalam Meningkatkan Perekonomian Daya Saing” dengan baik.
Penyelesaian makalah ini tidak
terlepas dari bantuan teman-teman dan berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan
rasa hormat yang mendalam saya
menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Budi Supriyatno, MM., MSi.
selaku dosen, yang telah memberikan saya wawasan lebih tentang
Perekonomian Indonesia dan teman-teman
yang telah membantu berpartisipasi dalam menyelesaikan makalah ini.
Makalah
ini merupakan tugas mata kuliah Perekonomian Indonesia. Dalam makalah ini saya akan
membahas tentang Pemanfaatan Pasar Bebas Dalam
Meningkatkan Perekonomian Daya Saing. Selain sebagai
tugas, saya membuat makalah ini tentunya dengan besar harapan dapat bermanfaat
bagi semua orang baik para pembaca dan juga generasi–generasi berikutnya maupun
diri sendiri dan semoga makalah ini juga bisa dijadikan sumber ilmu bagi kita
semua. Amin.
Namun tidak menutup kemungkinan makalah ini masih jauh
dari sempurna, oleh kerena itu kritik dan saran yang membangun sangat
diharapkan, tentunya untuk kepentingan proses peningkatan cakrawala berfikir
kita bersama dalam memahami Perekonomian Indonesia. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
Jakarta, Oktober 2016
Kelompok 2
Daftar Isi
Kata
pengantar
Daftar isi
BAB I
PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar
belakang..............................................................................................1
B. Masalah.........................................................................................................1
C. Maksud dan
Tujuan.......................................................................................1
BAB II
PEMBAHASAN........................................................................................3
A. Pengertian
Daya Saing................................................................................3
B. Potret
Daya Saing........................................................................................5
C. Peningkatan
Daya Saing Ekonomi dan Peran Birokrasi.............................10
D. Implementasi
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).................................16
E. Pro-kontra
Pasar Bebas ASEAN (MEA) di Indonesia................................21
BAB
III
PENUTUP................................................................................................26
A. Kesimpulan.................................................................................................26
B. Saran...........................................................................................................27
Daftar
Pustaka.........................................................................................................28
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Secara garis
besar, persatuan pasar di antara negara-negara anggota ASEAN ini serupa dengan
konsep Uni Eropa, hanya berbeda pada kebijakan moneternya, seperti kebijakan
dalam mata uang. MEA juga menjamin kebebasan perputaran modal serta perdagangan
dengan negara-negara non-ASEAN, tidak hanya berkutat dalam perputaran modal
antar anggota-anggota ASEAN saja.
Terwujudnya
sistem pasar bebas ini berarti Indonesia harus siap untuk menghadapi persaingan
antar negara anggota. Dalam hal ini, tidak hanya pemerintah, tetapi juga
masyarakat. Peran pemerintah dalam membentuk regulasi dan perundang-undangan
tentang masalah investasi dan kompetisi usaha harus diperkuat.
Kebijakan
yang diambil pemerintah akan jadi penentu kemenangan, atau kekalahan, Indonesia
dalam era kompetisi yang semakin ketat.
Di lain
pihak, pemerintah juga harus memfasilitasi masyarakat dalam mendorong
pertumbuhan kualitas barang dan jasa. Pemerintah juga harus menyadari bahwa
tanpa peran masyarakat, terutama pelaku bisnis, Indonesia akan sulit untuk
bersaing dengan negara-negara anggota lainnya. Apalagi, negara-negara tetangga
Indonesia merupakan pemain besar di bidang ekonomi global, seperti Malaysia dan
Singapura.
- Masalah
1.
Apa itu daya saing?
2.
Bagaimana pasar bebas di Indonesia ?
3.
Apakah ada hubungannya pasar bebas
dengan perekonomian Indonesia?
- Maksud dan Tujuan
Tujuan dari penulisan ini agar dapat memahami suasana
dan arah daya saing Negara Indonesia terhadap Negara-negara maju. Dengan adanya
mekanisme yang baik dan tepat pada sasaran paling tidak dapat meningkatkan
peran perekonomian dan pembangunan indoneisia di mata internasional.
Tujuan lain dari penulisan ini juga agar dapat menambah wawasan masyarakat dalam mewujudkan kehidupan yang adil, makmur dan beradap atas dasar Undang-Undang Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, tertib, bersahabat, bersatu, aman, damai dan sejahtera.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Daya Saing
Daya saing merupakan proses untuk pencapaian sebuah tujuan yang lebih baik
kedepan dalam meningkatkan pertumbuhan dan pendapatan sebuah Negara. Daya saing menurut Michael Porter (1990)
adalah produktivitas yang didefinisikan sebagai output yang dihasilkan oleh
tenaga kerja. Menurut World Economic Forum, daya saing nasional adalah
kemampuan perekonomian nasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi
dan berkelanjutan. Daya saing menurut Pusat Studi dan Pendidikan Kebanksentralan Bank
Indonesia (2002) harus mempertimbangkan beberapa hal:
1. Daya saing mencakup
aspek yang lebih luas dari sekadar produktivitas atau efisiensi pada level
mikro. Hal ini memungkinkan kita lebih memilih mendefinisikan daya saing sebagai
“kemampuan suatu perekonomian” daripada “kemampuan sektor swasta atau perusahaan” Pelaku ekonomi atau economic agent bukan
hanya perusahaan, akan tetapi juga rumah tangga, pemerintah, dan lain-lain.
Semuanya berpadu dalam suatu sistem ekonomi yang sinergis. Tanpa memungkiri
peran besar sektor swasta perusahaan dalam perekonomian, fokus perhatian akan
diperluas, tidak hanya terbatas akan hal itu saja dalam rangka menjaga luasnya
cakupan konsep daya saing.
2. Tujuan dan hasil
akhir dari meningkatnya daya saing suatu perekonomian tak lain adalah
meningkatnya tingkat kesejahteraan penduduk di dalam perekonomian tersebut.
Kesejahteraan atau level of living adalah konsep yang maha
luas yang pasti tidak hanya tergambarkan dalam sebuah besaran variabel seperti
pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi
hanya satu aspek dari pembangunan ekonomi dalam rangka peningkatan standar
kehidupan masyarakat.Kata kunci dari konsep daya saing adalah kompetisi.
Disinilah peran keterbukaan terhadap kompetisi dengan para kompetitor menjadi
relevan. Kata daya saing menjadi kehilangan maknanya pada suatu perekonomian
yang tertutup.
Menurut Michael Porter (1990), pada dasarnya ada 4 (empat) faktor yang
mempengaruhi daya saing suatu negara, yaitu:
1.
Strategi, Struktur, dan
Tingkat Persaingan Perusahaan, yaitu bagaimana unit-unit usaha di dalam suatu
negara terbentuk, diorganisasikan, dan dikelola, serta bagaimana tingkat
persaingan dalam negerinya.
2.
Sumber Daya di suatu
Negara, yaitu bagaimana ketersediaan sumber daya di suatu negara, yakni sumber
daya manusia, bahan baku, pengetahuan, modal, dan infrastruktur. Ketersediaan
tersebut menjadi penentu perkembangan industri di suatu negara. Ketika terjadi
kelangkaan pada salah satu jenis faktor tersebut maka investasi industri di
suatu negara menjadi investasi yang mahal.
3.
Permintaan Domestik,
yaitu bagaimana permintaan di dalam negeri terhadap produk atau layanan
industri di negara tersebut. Permintaan hasil industri, terutama permintaan
dalam negeri, merupakan aspek yang mempengaruhi arah pengembangan faktor awalan
keunggulan kompetitif sektor industri. Inovasi dan kemajuan teknologi dapat
terinspirasi oleh kebutuhan dan keinginan konsumen.
4.
Keberadaan Industri
Terkait dan Pendukung, yaitu keberadaan industri pemasok atau industri
pendukung yang mampu bersaing secara internasional. Faktor ini menggambarkan
hubungan dan dukungan antar industri, dimana ketika suatu perusahaan memiliki
keunggulan kompetitif, maka industri-industri pendukungnya juga akan memiliki
keunggulan kompetitif.
Porter mencontohkan Italia sebagai negara yang menerapkan hal tersebut.
Italia tidak hanya sukses dalam industri sepatu dan kulit, namun juga telah
berhasil mendorong industri pendukungnya seperti desain kulit, serta pengolahan
kulit sepatu untuk berkembang sejalan dengan perkembangan industri sepatu dan
kulit.
Keempat komponen yang disebut sebagai model Porter’s Diamond tersebut
mengkondisikan lingkungan di mana perusahaan-perusahaan berkompetisi dan
mempengaruhi keunggulan daya saing suatu bangsa. Analisis tersebut menyatakan
bahwa pemerintahan suatu negara memiliki peran penting dalam membentuk
ekstensifikasi faktor-faktor yang menentukan tingkat keunggulan kompetitif
industri suatu negara. Hal ini diperjelas dengan adanya 2 (dua) variabel
tambahan yang mempengaruhi daya saing, yaitu:
1.
Kesempatan, yaitu
perkembangan yang berada di luar kendali perusahaan-perusahaan (dan biasanya
juga di luar kendali pemerintah suatu bangsa), seperti misalnya penemuan baru,
terobosan teknologi dasar, perkembangan politik eksternal, dan perubahan besar
dalam permintaan pasar asing.
2.
Pemerintah, yakni
pemerintah pada semua tingkatan pemerintahan dapat meningkatkan atau
memperlemah keunggulan nasional. Peran pemerintah terutama dalam membentuk
kebijakan yang mempengaruhi komponen-komponen dalam Diamond Porter. Misalnya,
kebijakan anti-trust mempengaruhi persaingan nasional. Regulasi dapat mengubah
faktor permintaan (misalnya regulasi terkait subsidi BBM). Kebijakan pemerintah
yang mendukung pendidikan dapat mengubah kondisi faktor produksi. Belanja
pemerintah dapat merangsang industri terkait dan pendukung.
B.
Potret Daya Saing
B.1 Potret Daya Saing Indonesia
Kekuatan daya saing
merupakan tatanan yang harus dibenahi dengan baik oleh bangsa Indonesia, untuk
menciptakan indonesia yang adil makmur dan beradap di mata internasional.
Tabel B. 1 Rangking Daya Saing
Indonesia Dalam Negeri
Negara
|
2000
|
2001
|
2002
|
2003
|
2004
|
2005
|
2006
|
USA
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
Singapura
|
2
|
3
|
8
|
4
|
2
|
3
|
3
|
Malaysia
|
26
|
28
|
24
|
21
|
16
|
28
|
23
|
Korea
|
29
|
29
|
29
|
37
|
35
|
29
|
38
|
Jepang
|
21
|
23
|
27
|
25
|
23
|
21
|
17
|
Cina
|
24
|
26
|
28
|
29
|
24
|
31
|
19
|
Thailand
|
31
|
34
|
31
|
30
|
29
|
27
|
32
|
Indonesia
|
43
|
46
|
47
|
57
|
58
|
59
|
60
|
Sumber: IMD World Competitiveness
Yearbook (WCY)
Dari table B.1 tersebut menunjukkan bahwa sikap dan aplikasi pemebangunan
dan perekonomian Indonesia masih di anggap lemah dalam tatanan global, yang
yang seharusnya proses tersebut terus meningkat namun kenyataannya hanya
naik-turun, factor inin disebabkan oleh berbagai sektor, antaranya:
1. Nilai Inti Pembangunan
Permasalahan utama dalam pembangunan ekonomi Indonesia adalah kualitas SDM.
Rendahnya kualitas SDM menyebabkan rendahnya daya saing global bangsa
Indonesia. Daya saing bangsa yang kuat menurut pendapat dari Todaro (1998), apabila nilai inti
pembangunan Indonesia dapat dipenuhi: sustenance
(kemampuan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan dasar), freedom (kemerdekaan, kebebasan dari sikap menghambat), self esteem (jati diri) dan tersedianya
banyak pilihan.
Rendahnya Kulaitas SDM ini pada dasarnya sangat mengakar pada keterpukan
nilai-nilai pendidikan yang berkulitas. Lemahnya tatanan pendidikan tersebut
menyebabkan bangsa Indonesia terus terpuruk dalam kemiskinan dan tertinggal
dalam pembangunan seperti yang diharapkan.
2. Kolonialisme dan Inferiorisme
Rendahnya kualitas SDM akibat pembodohan terstruktur sejak berabad-abad
lamanya. Tahun 2006 Human Development Index (HDI) Indonesia hanya menduduki
rangking 69 dari 104 negara. Penjajahan selama lebih dari 3,5 abad menjadikan
bangsa Indonesia inferior dan selalu pasrah pada keadaan, rendah diri dan tidak
kreatif. Kalaupun mau berusaha, cukup puas hanya pada tataran pencapaian
rata-rata (mediocore achievement).
Perkembangan kualitas SDM Indonesia tidak terlepas dari sejarah intervensi
pemerintah dalam dunia pendidikan.
Pada masa kolonialisme, penduduk sengaja dibuat bodoh dengan hanya
mengizinkan anak orang-orang yang pro-pemerintah colonial yang dapat
bersekolah. Hasilnya mayoritas penduduk Indonesia buta huruf (il-literate) dan
bermental rendah (inferior). Pada masa orde lama hingga orde baru pendidikan
tidak pernah mendapatkan prioritas dalam program pembangunan nasional.
3. Sumber Daya Alam
Perekonomian Indonesia tidak bisa menggantungkan daya saingnya dari
keunggulan komparatif apalagi hanya dengan mengeksploitasi sumber daya alam
yang tidak terbarukan. Saat ini stok sumber daya alam tidak terbarukan seperti
minyak bumi, gas, maupun batubara Indonesia telah menipis. Demikian juga sumber
daya alam yang dapat diperbarui juga telah banyak rusak dan membutuhkan waktu
yang amat lama untuk dapat dikembalikan kepada keadaan semula. Rusak dan gundulnya hutan telah menjadi
isu yang cukup memprihatinkan. Bahkan kerusakan alam yang demikian parahnya
justru menyebabkan bencana lain muncul, seperti tanah longsor dan banjir, yang
menambah terpuruknya daya saing perekonomian Indonesia.
4. Teknologi
Indeks teknologi ini diukur antara lain dari posisi negara bersangkutan
dalam penguasaan teknologi dibandingkan negara-negara maju, inovasi bisnis,
pengeluaran untuk riset dan pengembangan (R&D), serta kolaborasi dengan
perguruan tinggi setempat dalam R&D. Sementara, indeks transfer teknologi
diukur dari tingkat alih teknologi oleh investor asing, baik melalui penanaman
modal langsung maupun pemberian lisensi untuk teknologi asing.
Dalam hal penguasaan teknologi Indonesia juga masih kalah dibandingkan
dengan Negara tetangga, meskipun Indonesia memiliki cadangan sumber daya alam
yang cukup untuk membuat industry teknologi sendiri. Hal ini disebabkan karena
kualitas SDM Indonesia yang kurang diberdayakan untuk memajukan sector
teknologi.
5. Iklim Usaha
Variabel situasi makroekonomi meliputi sejumlah komponen, yakni stabilitas
makroekonomi, peringkat utang negara dan belanja pemerintah. Untuk stabilitas
makroekonomi, Indonesia peringkat ke-45. Sementara, untuk peringkat utang,
Indonesia urutan ke-74, dan belanja pemerintah urutan ke-19. Sementara, MCI
yang dikembangkan Michael E Porter mengukur daya saing fundamental secara
komparatif, dengan menggunakan indikator-indikator mikroekonomi seperti operasi
dan strategi perusahaan, serta kualitas iklim usaha di dalam negeri pada negara
bersangkutan.
Kualitas iklim usaha di sini meliputi antara lain kualitas infrastruktur
fisik, infrastruktur administratif, sumber daya manusia, infrastruktur
teknologi, pasar modal, kondisi permintaan, ada-tidaknya industri terkait dan
industri pendukung, ada-tidaknya insentif usaha dan persaingan (struktur
pasar). Hingga saat ini iklim usaha di Indonesia belum dapat dikatakan
kondusif. Kurangnya kepercayaan pihak asing menyebabkan larinya para investor
asing ke luar negeri. Buruknya iklim usaha di Indonesia tercermin dari kompleks
dan berbelit-belitnya birokrasi. Sistem perizinan dengan prosedur yang panjang
membuat para investor harus mengeluarkan dana ekstra untuk memangkas birokrasi
dengan cara-cara yang tidak terpuji seperti suap.
Sarana infrastruktur yang buruk, seperti rusaknya jalan-jalan sangat
menghambat aktivitas perekonomian. Hal ini memberikan gambaran buruk bagi para
investor bahwa pajak yang mereka bayarkan kepada Negara tidak memberikan imbal
balik bagi kelangsungan usaha mereka.
6. Industri Manufaktur
Industri manufaktur boleh jadi merupakan sosok yang paling menggambarkan
problematika perekonomian Indonesia dewasa ini. Di era dunia datar (flat world) yang dipicu oleh globalisasi
dan liberalisasi, industri manufaktur berada di lini terdepan dalam pertarungan
menghadapi persaingan mondial. Hal ini disebabkan industri manufaktur merupakan
satu dari tiga sektor tradables. Dua sektor lainnya ialah pertanian serta
pertambangan & galian. Sesuai dengan namanya, produk-produk yang dihasilkan
sektor tradables diperdagangkan secara bebas, baik di pasar internasional
maupun pasar domestik.
Untuk menembus pasar internasional, produk-produk sektor ini harus
berhadapan dengan produk-produk serupa dari negara-negara lain; sementara itu
untuk memperoleh tempat di pasar domestik, produk-produk ini harus mumpuni
menghadang penetrasi barang-barang sejenis yang diimpor. Di antara sektor
tradables sendiri, industri manufakturlah yang paling keras menghadapi
persaingan. Karena karakteristik alamiahnya, derajat mobilitas produk-produk
manufaktur lebih tinggi ketimbang produk-produk pertanian dan pertambangan.
Sekedar perbandingan, sektor-sektor yang tergolong non-tradables, yang
terdiri dari sektor jasa (dalam artian luas, meliputi juga konstruksi dan
utilitas), praktis tak menghadapi persaingan head to head di pasar domestik.
Misalnya: sektor listrik, gas, dan air bersih; komunikasi, pendidikan, rumah
sakit, dan jasa angkutan.
Mengingat intensitas perdagangannya sangat tinggi, industri manufaktur
menghadapi hampir segala persoalan di hampir semua “medan laga”, baik di
lingkungan internal, industri maupun eksternal. Juga terkena imbas langsung
dari persoalan-persoalan yang dihadapi di lingkup pasar domestik mapun pasar
internasional.
Tingkat efisiensi dan produktivitas yang tinggi di tingkat perusahaan
semata tak bisa menjamin keberhasilan seandainya faktor-faktor eksogen tak
mendukung, misalnya: kualitas infrastruktur yang buruk, korupsi dan pungutan
liar, birokrasi yang bobrok, kerangka institusi yang lemah, kualitas sumber
daya manusia yang rendah, serta risiko bisnis dan politik yang tinggi.
B.2 Potret Daya Saing Global
Daya Saing Global menurut Executive
Summary WEF adalah kemampuan nilai tukar mata uang suatu Negara (exchange rate) mempengaruhi
produktivitas nasional. Daya saing diartikan sebagai akumulasi dari berbagai
factor, kebijakan dan kelembagaan yang memepengaruhi produktivitas suatu Negara
sehinggan akan emenetukan tercapainya kesejahteraan rakyat dalam system
perekonomian nasional.Produktivitas adalah penentu utama tingkat ROI (return on Investment) dan agregasi
pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian semakin kompetitif daya saing sebuah system
perekonomian maka pembangunan akan tumbuh lebih cepat dalam waktu menengah dan
panjang.
Daya saing juga dapat dilihat dari kebijakan makroekonomi. Pada era orde
baru, pertumbuhan ekonomi cukup tinggi (7-9%), namun karena terjadi salah
kelola (mismanaging) dan salah arah
kebijakan (misguiding) public finance
dengan diberlakukannya DFI (Direct
Foreign Investment) sehingga pada saat krisis akibatnya Negara yang
menanggung Utang pihak swasta. Faktor-faktor lain sebagai penentu daya saing
global diantaranya: kesempatan berusaha, system peradilan yang fair, pajak yang
bermanfaat, birokrasi, inovasi teknologi dan pendidikan, hubungan internasional
dan hak cipta. Terjadinya pergantian pemerintahan, kerusakan Infrastruktur (akibat banyaknya bencana
alam, tsunami, gempa bumi, dan banjir) dan hancurnya pasar uang menyebabkan
daya saing perekonomian Indonesia terpuruk.
B.3 Awal Mulanya Jatuh Daya Saing Indonesia Dari
Negara-Negara Maju
Indonesia mengalami kemunduran luar biasa dalam melahirkan perusahaan dan
industry kelas dunia. Globalisasi yang telah menjadi kemestian adalah arena
yang akan menghukum mereka yang tidak siap dan tidak tanggap seperti bangsa
kita terhadap fenomina ini. Persoalan peningkatan daya saing ekonomi ini adalah
persoalan serius yang mesti diperhatikan dalam mendesain program pemulihan
ekonomi kita ke depan.
Daya saing yang buruk menyebabkan sebuah perekonomian sangat rentan
terhadap gejolak eksternal dan karenanya mudah sekali didera krisis yang
berkepanjangan. Sebaliknya jika daya saing sebuah perekonomian baik,
perekonomian akan mampu segera pulih dari krisis bahkan bangkit kembali untuk
menjadi perekonomian yang tangguh dan terhormat. Bukti empiris memang
menunjukkan bahwa Negara-negara segera bangkit perekonomiannya adaah
Negara-negara yang daya saing ekonominya terus membaik, contohnya Malaysia dan
Jepang.
Membangun ekonomi bukanlah persoalan sederhana. Ia harus ditunjang
industrial base yang tangguh, sayangnya untuk Negara kita yang terjadi bukanlah
sebuah proses re-industrialisasi yang lebih terencana dan terfokus untuk
menangguhkan fondasi ekonomi dan kemudian berangsur-angsir pulih, tetapi sebuah
proses yang kini populer dengan sebutan de-industrialisasi. Hal ini menegaskan
bahwa perekonomian Indonesia memang memiliki potensi serius untuk terus
berjibaku dalam krisis berkepanjangan yang tak berujung.
C.
Peningkatan
Daya Saing Ekonomi dan Peran Birokrasi
Dinamika
perkembangan ekonomi global akhir-akhir ini memberikan sinyal akan pentingnya peningkatan daya
saing, di tingkat regional, Indonesia akan dihadapkan dengan implementasi
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), yang pelaksanaannya akan dimulai pada tanggal
31 Desember 2015.
MEA akan
menjadi tantangan tersendiri bagi Bangsa Indonesia dengan transformasi kawasan
ASEAN menjadi pasar tunggal dan basis produksi, sekaligus menjadikan kawasan
ASEAN yang lebih dinamis dan kompetitif.
Pemberlakuan MEA dapat pula dimaknai
sebagai harapan akan prospek dan peluang bagi kerjasama ekonomi antar kawasan
dalam skala yang lebih luas, melalui integrasi ekonomi regional kawasan Asia
Tenggara, yang ditandai dengan
terjadinya arus bebas (free flow)
: barang, jasa, investasi, tenaga kerja, dan modal.
Dengan
hadirnya ajang MEA ini, Indonesia sejatinya memiliki peluang untuk memanfaatkan
keunggulan dengan meningkatkan skala ekonomi dalam negeri, sebagai basis memperoleh keuntungan, dengan
menjadikannya sebagai momentum memacu pertumbuhan ekonomi.
MEA mendatang seyogyanya perlu terus dikawal dengan upaya-upaya terencana dan targeted dengan terus meningkatkan sinergitas, utamanya dalam meningkatkan
dukungan menata ulang kelembagaan birokrasi, membangun infrastruktur,
mengembangkan sumberdaya manusia, perubahan sikap mental serta meningkatkan
akses financial terhadap sektor riil yang kesemuanya bermuara pada upaya
meningkatkan daya saing ekonomi.
Bagi
Indonesia sendiri, MEA akan menjadi peluang
karena hambatan perdagangan akan cenderung berkurang bahkan menjadi
tidak ada. Hal tersebut akan berdampak pada peningkatan ekspor yang pada
akhirnya akan meningkatkan GDP Indonesia. Pada sisi investasi, dengan dukungan
birokrasi pada aspek kelembagaan dan sumber daya manusianya, diharapkan
dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif dalam mendukung masuknya
Foreign Direct Investment (FDI).
Meningkatnya
investasi diharapkan dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi, perkembangan
teknologi, penciptaan lapangan kerja, pengembangan sumber daya manusia (human
capital) dan mengatasi masalah tenaga kerja dan pengentasan kemiskinan yang menjadi tantangan dalam meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Sebagai
gambaran, daya tarik investasi ke ASEAN
lebih besar dari pasar global ketimbang nilai investasi antar negara ASEAN
sendiri. Nilai investasi dari pasar global ke ASEAN mencapai 67 miliar dollar
AS, jauh lebih tinggi dibanding nilai investasi antar negara ASEAN yang hanya
26 miliar dollar AS.
Disamping
itu pemberlakuan MEA 2015 mendatang dapat dijadikan peluang bagi peningkatan
pertumbuhan ekonomi Indonesia, mengingat
semakin meningkatkan size ekonomi kawasan, dimana dalam studi CSIS dan
ADBI, diprediksikan negara-negara Asean akan berpendapatan total 5,4 triliun
dollar AS pada 2030 mendatang. Namun
sebaliknya, pemberlakuan MEA 2015 akan dapat menjadikan kita sebagai pecundang
belaka, yang ditandai dengan hanya
menjadi pasar impor, dan terjebak
menjadi negara berpendapatan menengah
(middle income trap), apabila
tanpa persiapan yang matang dalam meningkatkan produktivitas, efesiensi dan daya saing.
Di masa
lampau kekuatan dan daya saing sebuah bangsa dalam percaturan ekonomi dan perdagangan
internasional ditentukan oleh keunggulan komparatif (comparative advantage) yang terkait erat dengan “keunggulan” sumber
kekayaan alam yang dimiliki. Namun dalam
perkembangannya konsep dan keyakinan tersebut terbantahkan, dimana pada
pertengahan 1985, Prof. Michael Porter dari Harvard University, menyajikan
gagasan baru, teori keunggulan kompetitif
(competitive advantage theory)
sebagai sumber daya saing yang kemudian praktis meruntuhkan keyakinan lama
bahwa kekayaan alamlah yang menentukan tinggi rendahnya daya saing suatu
bangsa.
Secara
sederhana teori keunggulan kompetitif, menjadi dasar baru bagi peningkatan daya
saing ekonomi, hal inilah yang menjadikan kemajuan ekonomi negara-negara
seperti Jepang, Singapura, dan juga Korea Selatan, sehingga dapat mencapai taraf perkembangan ekonomi
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Teori keunggulan kompetitif
tampaknya sangat relevan dengan
menjadikan daya saing sebagai pilar utama
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Pemahaman mengenai pentingnya daya saing berkembang seiring dengan semakin
berkembangnya globalisasi dan perdagangan bebas. Daya saing secara garis besar
diukur berdasarkan kondisi institusi, kebijakan, dan faktor-faktor yang menentukan tingkat produktivitas ekonomi
suatu negara.
Produktivitas
yang tinggi mencerminkan daya saing tinggi dan daya saing tinggi berpotensi
menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Daya saing tinggi menuntut
pemenuhan “prasyarat dasar” yang diantaranya meliputi infrastruktur, kualitas
kelembagaan birokrasi, stabilitas ekonomi makro, serta pendidikan.
Inpres No. 6 Tahun 2014 dan Strategi
Peningkatan Daya Saing
Pemerintah
RI terus meningkatkan komitmennya dalam mendukung optimalisasi daya saing guna
memacu produktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, dengan terbitnya Inpres No. 6 Tahun 2014 pada 1
September 2014. Melalui
Inpres tersebut, Presiden RI menginstruksikan kepada jajaran pemerintah di
seluruh Indonesia, untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai
dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing secara terkoordinasi dan
terintegrasi untuk meningkatkan daya saing nasional dan melakukan persiapan
pelaksanaan MEA yang akan dimulai pada Tahun 2015.
Diharapkan
melalui Inpres tersebut peningkatan daya saing dapat terus ditingkatkan,
utamanya dengan mengedepankan beberapa strategi dasar di antaranya:
1. Pengembangan
industri nasional yang berfokus pada pengembangan industri prioritas dalam
rangka memenuhi pasar ASEAN; pengembangan industri dalam rangka mengamankan
pasar dalam negeri. Selanjutnya, pengambangan industri kecil menengah;
pengembangan SDM dan penelitian; dan penerapan Standar Nasional Indonesia
(SNI).
2. Pengembangan
pertanian, dengan fokus pada peningkatan investasi langsung di sektor
pertanian, dan peningkatan akses pasar.
3. Pengembangan
kelautan dan perikanan, dengan fokus pada penguatan kelembagaan dan posisi
kelautan dan perikanan; penguatan daya saing kelautan dan perikanan; penguatan
pasar dalam negeri; dan penguatan dan peningkatan pasar ekspor.
4.
Pengembangan energi, yang fokus pada
pengembangan sub sektor ketenagalistrikan dan pengurangan penggunaan energi
fosil (Bahan Bakar Minyak); sub sektor energi baru, terbarukan dan konservasi
energi; dan peningkatan pasokan energi dan listrik agar dapat bersaing dengan negara
yang memiliki infrastruktur lebih baik.
Selain itu
masih ada sepuluh sektor pengembangan lainnya, yang meliputi pengembangan
infrastruktur; pengembangan sistem logistik nasional; pengembangan perbankan;
investasi; usaha mikro, kecil, dan menengah; tenaga kerja; kesehatan;
perdagangan; kepariwisataan; dan kewirausahaan.
Kita patut bersyukur upaya untuk terus meningkatkan daya saing secara
bertahap di Indonesia telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan,
meskipun harus diakui masih terdapat berbagai kekurangan yang menjadi tugas bersama untuk terus
memperbaikinya.
Meningkatnya
daya saing Indonesia tercermin dari laporan Forum Ekonomi Dunia atau World
Economic Forum (WEF) pada Selasa (2/9), yang
merilis Indeks Daya Saing Global 2014-2015. Dalam rilis itu dikemukakan,
daya saing Indonesia naik 4 tingkat menjadi peringkat 34 dari 144 negara di
dunia. Peringkat
Indonesia mengungguli Spanyol (35), Portugal (36), Filipina (52), Rusia (53),
Brasil (57), India (71), Yunani (81), Mesir (119) dan Pakistan (129). Pada
tahun 2012 daya saing Indonesia ada pada peringkat 50, tahun 2013 urutan ke-38
dan tahun ini menempati urutan ke-34.
Membaiknya
daya saing Indonesia antara lain ditopang oleh ‘prestasi’ pertumbuhan ekonomi
yang rata-rata mencapai 5,8% per tahun sejak 2005. Di tengah melambatnya
perekonomian global, pertumbuhan ekonomi nasional di atas 5%.
Peningkatan daya saing Indonesia juga banyak didorong oleh kemajuan
pembangunan infrastruktur. Meskipun infrastruktur kita masih banyak masalah,
namun dalam kurun waktu 5 tahun terakhir progresnya cepat, terutama
infrastruktur konektivitas.
Kenaikan
peringkat daya saing Indonesia seyogyanya dapat terus diupayakan percepatannya
dalam menghadapi persaingan MEA 2015
mendatang, strategi utama yang dapat dipertimbangkan adalah memacu percepatan
reformasi birokrasi. Hal ini
didasari atas kenyataan masih belum kondusifnya
dukungan birokrasi dalam mengoptimalkan peningkatan daya saing, terutama
terkait dengan mengembangkan kemudahan berbisnis (doing business) sebagai salah satu tolok ukur utama daya saing
negara.
Dari
berbagai riset dan literatur sudah diidentifikasi bahwa rendahnya kapasitas
kelembagaan birokrasi merupakan penyebab rendahnya tingkat kemudahan
menjalankan bisnis di Indonesia. Hal ini
kontraproduktif dengan proyeksi semakin
meningkatnya kompleksitas pengelolaan makroekonomi jelang pemberlakuan MEA
2015, yang memerlukan penguatan dan peningkatan
kapasitas institusional secara memadai dan berkesinambungan.
Kapasitas kelembagaan birokrasi bukan hanya mencakup institusi yang
efisien, namun juga jajaran staf birokrasi yang berkualitas dan regulasi yang
kondusif bagi pengembangan iklim investasi.
Survei yang
dilakukan Bank Dunia juga menunjukkan korelasi kuat antara tingkat kemudahan
menjalankan bisnis dan tingkat daya saing ekonomi. Masalah pemberdayaan
kelembagaan birokrasi tampaknya memang menjadi soal sangat serius bagi
Indonesia ke depannya. Upaya-upaya
berkelanjutan dalam menciptakan efektif dan efisiensi birokrasi seyogyanya
menjadi upaya bersama untuk diwujudkan percepatannya. Kementerian/lembaga yang
terkait dengan pelayanan publik harus menjadi aktor-aktor utama perubahan
kelembagaan yang lebih baik yang diikuti dengan kesamaan dalam menerjemahkan
visi sampai dengan level birokrasi di pemerintah daerah.
Di tingkat
daerah, pemerintah daerah seyogyanya mengubah paradigma penggalian pendapatan
daerah yang bersumber dari pungutan daerah, serta menjadikan pemodal atau investor yang akan menanamkan
modalnya di daerah sebagai pihak yang membutuhkan pelayanan yang baik.
Harus dipahami bahwa persaingan di tingkat regional Asean, Asia, bahkan
global, akan menghadapkan birokrasi pemerintahan Indonesia dengan negara-negara
lain. Maka, unsur birokrasi pemerintahan pada level pusat dan daerah, harus
bersiap diri untuk berkompetisi dengan birokrat dari negara-negara lain.
Pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) untuk basis inovasi di kelembagaan
pemerintahan juga perlu dilakukan karena arah birokrasi ke depan adalah otomasi
atau bahkan digitalisasi yang akan makin mengefisienkan roda birokrasi.
Implementasi prinsip-prinsip effective
and efficient government dengan menata ulang struktur birokrasi, memacu
daya adaptasi birokrasi terhadap perubahan
dalam penyelenggaraan pemerintahan, merupakan kata kunci dalam
mengoptimalkan peran kelembagaan birokrasi bagi peningkatan daya saing
nasional.
Dari sisi
SDM, perlu terus diupayakan membangun meritokrasi sistem staffing
birokrasi, melalui implementasi open recruitment, dengan open recruitment,
diharapkan akan didapatkan calon-calon
yang kapabel untuk memegang jabatan tertentu.
Menata ulang kelembagaan dan SDM birokrasi seyogyanya menjadi prioritas pada semua tataran
birokrasi, mengingat semakin ketatnya persaingan ekonomi kawasan pada masa
mendatang.
Ketatnya
persaingan akan menjadikan semakin
sentralnya peran birokrasi sebagai “center of activity” yang menjamin akselerasi berbagai
implementasi kebijakan dan program yang
dirancang untuk memenangkan persaingan jelang MEA 2015.
Birokrasi harus mampu memberi sumbangsih
dalam pemberdayaan masyarakat, menjadi katalisator dan inovator serta
membangun kompetisi dalam arti positip, menjadikan birokrasinya saling
bersaing, antar bagian dalam memberikan pendampingan dan penyediaan regulasi
dan barang-barang kebutuhan publik.
Transformasi
jiwa-jiwa entrepreneurship ke dalam
birokrasi dapat menjadi alternatif
solusi dalam menjawab tantangan tersebut,
mewirausahakan birokrasi
sejatinya adalah sebuah usaha reformasi birokrasi dari aspek sumber daya
manusia, yang dapat dilakukan paralel dengan
usaha untuk mereformasi birokrasi dari aspek sistem dan kelembagaan
birokrasi yang ada. Mentransformasikan
jiwa-jiwa entrepreneurship ke dalam birokrasi, membangun pemerintahan yang
kompetitif dan berwawasan ke depan, sebagaimana konsepsi David Osborne dan Ted Gaebler dalam buku “Reinventing Goverment” tampaknya layak
dipertimbangkan dalam menyongsong pemberlakuan MEA 2015.
Mengembangkan
spirit wirausahawan pada birokrasi dapat menjadi alternatif pilihan dalam
memenangkan persaingan MEA 2015, dengan mewirausahakan birokasi akan
menghasilkan individu-individu birokrasi yang beroreintasi kepada tindakan yang
bermotivasi tinggi dalam menjalankan tugas-tugasnya, efesien, kreatif dan
inovatif dalam memasarkan potensi unggulan daerah, agar memiliki
nilai tambah ekonomi tinggi. Sikap-sikap
mental yang positif dari jiwa-jiwa entrepreneurship seyogyanya dapat menjadi sebuah daya yang
besar dalam mengoptimalkan kinerja
birokrasi dalam mengembangkan investasi, mengatasi masalah ketenagakerjaan,
pembangunan infrastruktur dan mengembangkan ekonomi kreatif.
Optimalisasi
kinerja birokrasi sangat dibutuhkan dalam memenangkan kompetisi yang terjadi di
segala lini dari mulai persaingan mendapatkan investasi, kualitas dan harga
jual produk ekspor, pasar tenaga kerja, kualitas infrastruktur, hingga regulasi
yang pro-investasi. Kita
tentunya berharap dengan mentransformasi spirit kewirausahaan dalam birokrasi
akan dapat semakin meningkatkan kinerja
birokrasi dalam memperkuat daya saing ekonomi
nasional dalam memenangkan persaingan
MEA 2015, sehingga dapat mempercepat terwujudnya peningkatan kesejahteraan
rakyat. Semoga.
D. Implementasi Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA)
Sejarah aktivitas ekonomi dunia mulai tergambarkan sejak meletusnya
revolusi industri di Inggris antara tahun 1750-1850 Masehi. Revolusi Industri
identik dengan nama James Watt sebagai salah satu tokoh inti dari revolusi ini.
Kemudian revolusi ini menyebar ke Eropa barat, Amerika Utara, Jepang sampai
keseluruh dunia termasuk Indonesia. Sebelum era Industri, aktivitas ekonomi
masyarakat dunia masih sangat bergantung pada produk-produk pertanian yang
diolah oleh tenaga manusia.
165 tahun setelah revolusi industri lahir di Inggris, dunia masuk ke
dalam era aktivitas ekonomi yang sangat jauh berbeda, bahkan dunia sedang
beranjak ke dalam era ekonomi yang benar-benar baru. Disadari ataupun tidak,
Indonesia kini masih berada di dalam abad informasi. Lihat saja tren yang
sedang menjamur saat ini. Toko online di mana-mana, ramainya media sosial
(Facebook, Twitter, LINE, Instagram, PATH, dll), juga fasilitas wifi di
mana-mana. Sedikit banyak cara baru aktivitas ekonomi semacam ini telah
membantu Indonesia berdiri kembali setelah dilanda krisis global di tahun 2008.
Krisis ekonomi yang berawal di Amerika Serikat pada 2007 telah menyebarkan
dampaknya keseluruh negara di dunia tak terkecuali Indonesia. Hal ini ditandai
dengan perekonomian Indonesia yang masih berada diangka 6,1% di 2008.
Perkembangan ekonomi global akhir-akhir ini memberikan sinyal akan
pentingnya peningkatan kemandirian dan daya saing sebuah negara di dunia
internasional, apalagi Indonesia akan dihadapkan dengan implementasi Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA), yang pelaksanaannya akan dimulai pada 31 Desember 2015. Pemberlakuan
MEA dapat dimaknai sebagai harapan akan prospek dan peluang bagi kerjasama
ekonomi antar kawasan dalam skala yang lebih luas, melalui integrasi ekonomi
regional kawasan Asia Tenggara, yang ditandai dengan terjadinya arus bebas
(free flow): barang, jasa, investasi, tenaga kerja, dan modal. Ini juga akan
menjadikan kawasan ASEAN yang lebih dinamis dan kompetitif.
Dengan hadirnya MEA, Indonesia sejatinya memiliki peluang untuk
memanfaatkan keunggulan dengan meningkatkan skala ekonomi aggregate, sebagai
dasar untuk memperoleh keuntungan, dengan menjadikannya sebagai sebuah momentum
untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Bagi Indonesia, MEA akan menjadi peluang karena hambatan perdagangan akan cenderung
berkurang bahkan perdagangan antar negara ASEAN menjadi bebas tanpa hambatan.
Hal tersebut akan berdampak pada peningkatan ekspor yang pada akhirnya akan
meningkatkan GDP Indonesia.
Namun sebaliknya, pemberlakuan MEA 2015 akan dapat menjadikan kita
sebagai konsumer, yang ditandai dengan hanya menjadi pasar impor. Apabila tanpa
persiapan yang matang dalam meningkatkan produktivitas, efesiensi, dan daya
saing. Apalagi saat ini Indonesia adalah pengimpor pangan yang sangat besar.
Jika tidak mampu meningkatkan produksi pangannya secara mandiri, Indonesia akan
terus mengalami defisit neraca perdagangan yang berdampak pada melemahnya nilai
Rupiah.
Produktivitas yang tinggi mencerminkan daya saing tinggi dan daya
saing tinggi berpotensi menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Untuk
bisa menjadi negara dengan daya saing tinggi harus ada beberapa yang harus
terpenuhi diantaranya meliputi infrastruktur, kualitas birokrasi, stabilitas
ekonomi makro, serta pendidikan,yang kesemuanya bermuara pada upaya
meningkatkan daya saing ekonomi.
D.1 Ekonomi Kreatif
Kreativitas
akan menjadi aktivitas ekonomi mendatang, menggantikan fokus kini pada
informasi. Menurut sejarah, agrikultur, perindustrian, dan informasi adalah
merupakan hal yang dominan dalam aktivitas ekonomi manusia. Prediksinya
menempatkan kreativitas dalam paradigma kategori historis yang membentuk
sejarah ekonomi manusia dari sejak permulaan waktu. Maka, seperti halnya
revolusi industri menggantikan agrikultur sebagai aktivitas ekonomi dominan,
kreativitas pun akan menggantikan abad informasi sebagai fokus dominan ekonomi
global (Nomura Research Center).
Ekonomi kreatif sendiri
didefinisikan dalam beberapa poin berikut:
1. Ekonomi
Kreatif adalah konsep yang berkembang berdasarkan aset kreatif yang berpotensi
membantu pertumbuhan ekonomi.
2. Ekonomi
kreatif mampu meningkatkan pemasukan bagi masyarakat, menciptakan lapangan
pekerjaan dan nilai ekonomi yang berasal dari kegiatan ekspor yang dalam waktu
bersamaan juga membantu mempromosikan keragaman sosial-budaya serta
mengembangkan sumber daya manusia.
3. Kemudian
Ekonomi Kreatif juga mampu menguatkan aspek-aspek ekonomi, kebudayaan dan
sosial yang mampu berinteraksi baik dengan teknologi, kegiatan intelektual
serta tujuan pariwisata.
4. Ekonomi
kreatif merupakan aktivitas ekonomi berbasis ilmu pengetahuan (knowledge-based
economy) dengan dimensi pengembangan hubungan lintas sektoral baik di level
makro maupun mikro di dalam aktivitas ekonomi secara keseluruhan.
Di
jantung ekonomi kreatif terdapat industri kreatif. (United Nations Conference
on Trade and Development) seperti dikutip pada buku “Creative Economy Report
2010” yang dirilis PBB.
Dari
pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa konsep Ekonomi Kreatif
merupakan sebuah konsep ekonomi di era ekonomi baru yang mengintensifkan
informasi dan kreativitas dengan mengandalkan ide dan stock of knowledge dari
Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan
ekonominya.
Struktur
perekonomian dunia mengalami transformasi dengan cepat seiring dengan
pertumbuhan ekonomi, dari yang tadinya berbasis Sumber Daya Alam (SDA) sekarang
menjadi berbasis SDM, dari era pertanian ke era industri dan informasi. Alvin
Toffler (1980) dalam teorinya melakukan pembagian gelombang peradaban ekonomi
kedalam tiga gelombang. Gelombang pertama adalah gelombang ekonomi pertanian. Kedua,
gelombang ekonomi industri. Ketiga adalah gelombang ekonomi informasi. Kemudian
diprediksikan gelombang keempat yang merupakan gelombang ekonomi kreatif dengan
berorientasi pada ide dan gagasan kreatif.
Seorang
yang hebat memang masih bisa bersaing di era modern ini, akan tetapi kehabatan
seorang tersebut akan berkali lipat jika digabungkan dalam 1 (satu) tim, dan
konsep ini lah yang lebing sering dipakai untuk mencapai sukses yang lebih
efektif dan efisien. Selain antar satu tim bisa saling membantu dan menguatkan,
juga bisa saling memberi masukan dengan melihat dari sudup pandang yang
berbeda-beda, dan dalam pemecahan masalah akan lebih tepat sasaran jika dalam
tim.
D.2
Daya Saing Indonesia dalam menghadapi MEA 2015
Lalu
bagaimana dengan Indonesia ? Kita patut bersyukur upaya untuk terus
meningkatkan daya saing secara bertahap di Indonesia telah menunjukkan hasil
yang cukup membanggakan, meskipun harus diakui masih terdapat berbagai
kekurangan yang menjadi tugas bersama
untuk terus memperbaikinya.
Meningkatnya
daya saing Indonesia tercermin dari laporan Forum Ekonomi Dunia atau World
Economic Forum (WEF), yang merilis
Indeks Daya Saing Global 2014-2015. Dalam rilis itu dikemukakan, daya saing
Indonesia naik 4 tingkat menjadi peringkat 34 dari 144 negara di dunia.
Peringkat Indonesia mengungguli Spanyol (35), Portugal (36), Filipina (52),
Rusia (53), Brasil (57), India (71), Yunani (81), Mesir (119) dan Pakistan
(129). Pada tahun 2012 daya saing Indonesia ada pada peringkat 50, tahun 2013
urutan ke-38 dan tahun ini menempati urutan ke-34.
Membaiknya
daya saing Indonesia antara lain ditopang oleh pertumbuhan ekonomi nasional di
atas 5% per tahun sejak 2005. Di tengah melambatnya perekonomian global.
Peningkatan daya saing Indonesia juga banyak didorong oleh kemajuan pembangunan
infrastruktur. Meskipun infrastruktur kita masih banyak masalah, namun dalam
kurun waktu 5 tahun terakhir progresnya cepat, terutama infrastruktur
konektivitas. Juga ada beberapa fakta yang dikemukakan oleh McKinsey Global
Institute. Bahwa Indonesia hari ini menduduki kekuatan ekonomi peringkat 16 di
dunia dan kuat kemungkinan akan duduk manis di peringkat tujuh ekonomi terkuat
di dunia pada tahun 2030, dan Indonesia memiliki populasi anak muda yang tumbuh
cepat di daerah urban, faktor ini memberi kekuatan tersendiri untuk
meningkatkan pemasukan negara.
Fakta
di atas tentu memberi peluang yang sangat besar bagi para pelaku ekonomi
kreatif di Indonesia. Namun hal tersebut juga bisa menjadi bumerang tatkala
pemerintah Indonesia tidak menggenjot dan mendukung kegiatan ekonomi kreatif di
Indonesia sehingga ditakutkan konsumen potensial ini akan dipikat oleh
produk-produk kreatif dari luar negeri dan pada akhirnya kita hanya menjadi
bangsa konsumen seperti yang kita alami selama ini.
D.3
Closing Statement
Sebenarnya
saya sebagai salah satu dari rakyat Indonesia sangat prihatin mengetahui bahwa
banyak aset penting dan strategis semakin dikuasai asing, dan juga sumber daya
alamnya dikeruk semena-mena oleh perusahaan-perusahaan asing. Hal ini tidak
terlepas juga dari lemahnya pemimpin di negeri ini serta lemahnya kesadaran
masyarakat akibat dari pendidikan yang juga rendah. Pemerintah RI harus terus
meningkatkan komitmennya dalam mendukung optimalisasi daya saing guna memacu
produktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, terutama dalam hal-hal
dasar di antaranya, pengembangan industry, pertanian, kelautan dan perikanan,
energi, infrastruktur, pengembangan perbankan, usaha mikro, kecil dan menengah,
kesehatan, kewirausahaan, dan perkoperasian.
Kita
patut bersyukur upaya untuk terus meningkatkan daya saing secara bertahap di
Indonesia telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan, meskipun harus
diakui masih terdapat berbagai kekurangan
yang menjadi tugas bersama untuk terus memperbaikinya. Beberapa faktor
yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam menghadapi MEA 2015 diantarannya:
1. Pendidikan
Tinggi; tidak dapat dielakkan pentingnya pendidikan bagi kemajuan sebuah
negara, dengan masyarakat yang terdidik dapat membantu Indonesia untuk menjadi
lebih produktif, lebih inovatif dan lebih mampu meningkatkan daya saing dengan
negara lain.
2. Tehnologi;
Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang, tentunya memerlukan
begitu banyak hal yang berhubungan
dengan teknologi. Untuk sekarang bisa dikatakan dalam semua bidang dari
pertanian, infrastruktur, dan kewirausahaan membutuhkan tehnologi untuk
mendukung perkembangan negara.
3. Birokrasi
yang baik; Hal ini penting karena untuk saat ini masih belum kondusifnya dukungan birokrasi dalam mengoptimalkan
peningkatan daya saing, terutama terkait dengan mengembangkan kemudahan
berbisnis yang sebagai salah satu barometer utama daya saing negara. Kapasitas
kelembagaan birokrasi bukan hanya mencakup institusi yang efektif dan efisien,
namun juga jajaran staf birokrasi yang berkualitas dan regulasi yang kondusif.
E. Pro-kontra Pasar Bebas ASEAN (MEA) di Indonesia
Jika kita tilik bahwa dengan adanya MEA ini akan
membawa manfaat bagi kita & negeri ini. Tapi hingga saat ini masih terjadi
pertikaian antara pro dan kontra akan adanya MEA yang dilaksanakan pada
penghujung 2015 mendatang. Banyak kalangan yang setuju dan tidak setuju dengan
kemunculan MEA lantaran adanya beberapa sebab, faktor, dan dampak yang terjadi.
Dari segi pro dapat dikatakan bahwa Indonesia sudah sangat siap menghadapi
MEA, dikarenakan oleh beberapa faktor atau manfaat dari adanya MEA terebut, di
antaranya ialah:
1. Informasi
akan semakin mudah dan cepat diperoleh.
2. Akan
tercipta dan meningkatnya lapangan pekerjaan.
3. Melalui
impor-ekspor yang terjadi pada saat dilaksanakan MEA, kebutuhan negeri akan
terpenuhi serta dapat menambah pendapatan negara.
4. Dapat
mendorong peningkatan ekonomi masyarakat, negara, serta bisa menstabilkan
ekonomi negara.
5. Kegiatan
produksi negeri akan semakin meningkat baik secara kualitas maupun kuantitas.
6. Menambah
devisa negara melalui bea masuk dan bea lain atas ekspor dan impor.
Sebenarnya masih banyak manfaat dari apa yang sudah di
atas akan adanya MEA baik bagi masyarakat sendiri maupun negara. Pemerintah
indonesia nyatanya memang sudah percaya diri dan siap menghadapi MEA nanti.
Indonesia juga dipastikan bahkan dapat memimpin di barisan garda depan ekonomi
ASEAN. Hal ini terbukti dengan adanya langkah-langkah yang sudah dipersiapkan
pemerintah beberapa tahun lalu. Langkah-langkah tersebut di antara ialah:
1. Bahwa selama tahun 2010 pemerintah sudah menggalakkan pembenahan
insfratuktur. Perbaikan infrastruktur yaitu dengan melalui perbaikan sarana
akses jalan raya, transportasi, pengembangan teknologi & informasi,
perbaikan & pengembangan bidang energi listrik. Akhir-akhir ini juga
pemerintah telah bekerja keras membangun jalan tol di berbagai kota di Jawa
maupun luar Jawa serta pembenahan jalan raya lainnya di berbagai wilayah di
Indonesia. Jusuf Kalla mengatakan bahwa syarat menghadapi MEA ialah dengan
adanya infrastuktur yang ada kini harus memadai.
2. Peningkatan sumber daya manusia (SDM). Mungkin peningkatan SDM merupakan
hal yang harus patut diperhatikan. Bagaimanapun nantinya kita akan menghadapi
orang-orang Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei, yang notabene memang
mempunyai kemampuan & skill yang cukup bagus. Tapi kita sebagai putra
bangsa Indonesia tidak usah khawatir. Pemerintah kini telah menggalakkan
pendidikan dengan memperbaiki dan mengevaluasinya guna menghadapi MEA bahkan
globalisasi supaya kita bisa bersaing kelak.
3. Penguatan daya saing ekonomi. Hingga kini pemerintah telah meluncurkan master plan percepatan & perluasan
ekonomi Indonesia supaya bisa terwujud ekonomi yang stabil, kuat, serta
berkualitas. Perlu Anda ketahui semenjak MEA dibentuk, pemerintah terus
berusaha memperbaiki kualitas ekonomi di negeri ini. Sampai saat ini ekonomi
Indonesia kian tahun kian berkembang, terbukti dari tahun 1990 kenaikan ekonomi
Indonesia hanya 15% dan pada tahun 2010 ekonomi indonesia mengalami kenaikan
menjadi 37%. Tak ketinggalan pendapatan produk domestik bruto PDB mengalamin
kenaikan dari PDB per kapita berkembang US$ 965 pada tahun 1998, sementara pada
tahun 2011 menjadi US$ 3,601.
4. Peningkatan sektor usaha masyarakat kecil menengah atau lebih sering
disebut dengan UMKM. Beberapa tahun ini nyatanya memang pemerintah berusaha
menigkatkan UMKM. Pemerintah pun berusaha pula mengalokasikan dana kepada
mereka, memberikan bantuan, pelatihan dan berbagai usaha lain agar usaha mereka
tidak gulung tikar, lebih-lebih mereka siap bersaing di kancah ekonomi ASEAN.
Dari beberapa langkah yang telah disebutkan di atas
dapat disimpulkan bahwa Indonesia sudah siap dan percaya diri untuk menghadapi
MEA di penghujung tahun 2015 nanti. Lebih-lebih jika dilihat dari dampaknya,
MEA memiliki manfaat yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat dan
negara kita. Direktorat Jenderal Perdagangan Internasional Imam Panbagyo dalam
DJKPI.com beliau menyatakan bahwa “dalam menghadapi MEA, Indonesia sudah
menyatakan kesiapannya, ekonomi Indonesia sendiri sudah mencapai 83% pada
penghujung 2015 nanti.
Lain lagi di pihak kontra. Di kontra Indonesia memang
dinyatakan belum siap menghadapi MEA. Sepertinya arus produk asing pada pasar
bebas yang akan datang dari berbagai negara nanti akan membanjiri negeri ini.
Sangat dikhawatirkan jika masyarakat Indonesia belum siap & tidak dapat
membendung produk asing yang membanjiri, maka akibatnya banyak pengusaha yang
akan gulung tikar, dan ini tentu berpengaruh pada ekonomi Indonesia. Jika kita
tilik dengan adanya berbagai gonjang-ganjing masalah yang di negeri kini,
apakah masyarakat serta pemerintah Indonesia sudah siap menghadapi MEA?
Sepertinya persiapan untuk menghadapi pasar bebas
ASEAN belum matang. Problematika yang ada di negeri kita sekarang ini membuat
kita kurang percaya diri untuk menghadapinya. Kenaikan harga beras, BBM,
listrik, mungkin itu salah satu faktor ekonomi Indonesia masih dinyatakan belum
meningkat. Belum lagi masalah politik yang sedang semrawut sehingga menyebabkan
pemerintah memperhatikan sektor ekonomi yang ada.
Adanya MEA pun memiliki dampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi indonesia,
di antaranya ialah:
1. Dengan adanya pasar bebas maka negara lain dapat menjual barang
produksinya dengan mudah di negeri ini, lebih-lebih jika barang yang ada dari
negara lain dijual dengan harga yang murah tapi berkualitas bagus dan laku
keras, akibatnya beberapa sektor industri dalam negeri tidak mampu bersaing
bahkan bisa mengalami kerugian yang sangat besar. Jika masyarakat Indonesia
tidak mampu bersaing, akan terjadi pengangguran bahkan kemiskinan akan
bertambah.
2. Orang asing dapat mengekploitasi alam Indonesia dengan mudah. Jika hal
itu terjadi, maka hilanglah kekayaan alam kita satu per satu dan ini dapat
menimbulkan kerugian yang sangat besar.
Dari paparan di atas, jika kita tak mampu menghadapi
pasar bebas, kita akan kalah saing dengan negara lain. Ketua panitia pelaksana
pusat Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec
dan ratusan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia menyatakan pada seminar nasional
ISEI bahwa” banyak pihak yang menilai bahwa Indonesia saat ini belum siap
menghadapi regionalism di tingkat ASEAN karena daya saing ekonomi nasional dan
daerah masih belum kuat. Oleh karenanya jika hal ini terjadi, imbasnya pada
kerugian dan penurunan ekonomi negara. Beberapa faktor yang menyatakan
ketidaksiapan Indonesia menghadapi MEA ialah SDM yang belum siap. Jika SDM yang
Indonesia miliki tidak bisa bersaing dengan tenaga kerja asing yang memiliki skill & lebih kreatif, maka dapat
dipastikan akan terjadi banyak pengangguran. Faktor lainnya ialah minimnya
sosialisasi akan MEA pada masyarakat. Hal ini memang terbukti masih banyaknya
masyarakat Indonesia belum mengetahui tentang pasar bebas ASEAN atau MEA
sehingga mereka pun tak sadar serta tidak mempersiapkan diri untuk
menghadapinya.
Dari semua kesimpulan di atas, faktanya memang
Indonesia masih belum siap menghadapi MEA di penghujung tahun 2015 ini lantaran
beberapa faktor. Tapi tak menutup kemungkinan dari semua rencana dan usaha
& kepercayaan diri yang telah tertanam bisa membuat kita semakin yakin
untuk menghadapinya. Kita pun putra bangsa Indonesia tak boleh gentar untuk
berani bersaing di kancah internasional. Percayalah bahwa kita dapat menghadapi
pasar bebas ASEAN tuk bawa tanah air kita memimpin di garda paling depan di
kancah internasional.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pasar bebas adalah pasar ideal
di mana seluruh keputusan ekonomi, dan aksi oleh individu yang berhubungan
dengan uang, barang, dan jasa adalah sukarela, dan oleh karena itu tanpa
mencuri. Sedangkan yang dimaksud ekonomi pasar bebas ialah ekonomi di mana
pasar relatif bebas. pasar bebas atau lebih sering kita sebut MEA (masyarakat
ekonomi Asian). Negara-negara ASEAN membentuk MEA untuk menciptakan keamanan
dan perdamaian dan ekonomi yang kuat sehingga bisa berkompetisi dengan
negara-negara yang ada di Asia bahkan di dunia.
Dengan
berlakunya pasar bebas di Indonesia ini dapat memberikan dapat positif dan
manfaat kondisi ekonomi bagi Indonesia. Tingkat kemiskinan tercatat turun dari
45% dari tahun 1990 menjadi 15,6% pada 2010, sedangkan tingkat penduduk kelas
menengah naik dari 15% menjadi 37%.
Hal
ini menunjukkan dampak positif pada pertumbuhan ekonomi Indonesia berkat
diberlakukannya MEA. Secara tidak langsung, MEA memang dapat meningkatkan suhu
perekonomian Indonesia. Meningkatnya kompetisi dalam bidang ekonomi tentunya
akan memacu para pelakunya untuk bekerja keras mengatasi dampak persaingan.
Para pelaku bisnis akan lebih kreatif dan inovatif dalam upaya untuk tetap
bertahan di tengah persaingan bisnis.
Dengan
hadirnya ajang MEA ini, Indonesia sejatinya memiliki peluang untuk memanfaatkan
keunggulan dengan meningkatkan skala ekonomi dalam negeri, sebagai basis
memperoleh keuntungan, dengan menjadikannya sebagai momentum memacu pertumbuhan
ekonomi.
Daya
saing merupakan proses untuk pencapaian sebuah tujuan yang lebih baik kedepan
dalam meningkatkan pertumbuhan dan pendapatan sebuah Negara. Dalam menghadapi
MEA Indonesia akan membaiknya daya saing Indonesia antara lain ditopang oleh
‘prestasi’ pertumbuhan ekonomi yang rata-rata mencapai 5,8% per tahun sejak
2005. Di tengah melambatnya perekonomian global, pertumbuhan ekonomi nasional
di atas 5%.
Kita
patut bersyukur upaya untuk terus meningkatkan daya saing secara bertahap di
Indonesia telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan, meskipun harus
diakui masih terdapat berbagai kekurangan yang menjadi tugas bersama
untuk terus memperbaikinya.
Hal
ini didasari atas kenyataan masih belum kondusifnya dukungan birokrasi
dalam mengoptimalkan peningkatan daya saing, terutama terkait dengan
mengembangkan kemudahan berbisnis (doing business) sebagai salah satu
tolok ukur utama daya saing negara.
B.
SARAN
Dengan
adanya pasar bebas maka negara lain dapat menjual barang produksinya dengan
mudah di negeri ini, lebih-lebih jika barang yang ada dari negara lain dijual
dengan harga yang murah tapi berkualitas bagus dan laku keras, akibatnya
beberapa sektor industri dalam negeri tidak mampu bersaing bahkan bisa
mengalami kerugian yang sangat besar. Jika masyarakat Indonesia tidak mampu
bersaing, akan terjadi pengangguran bahkan kemiskinan akan bertambah.
Oleh karena
itu pemerintah harus mempersiapkan daya saing perekonomian Indonesia dalam
menghadapi pasar bebas (MEA) dengan cara:
-
Penguatan
daya saing ekonomi. Hingga kini pemerintah telah meluncurkan master plan
percepatan & perluasan ekonomi Indonesia supaya bisa terwujud ekonomi yang
stabil, kuat, serta berkualitas.
-
Peningkatan
sumber daya manusia (SDM). Mungkin peningkatan SDM merupakan hal yang harus
patut diperhatikan.
-
Perbaikan
infrastruktur yaitu dengan melalui perbaikan sarana akses jalan raya,
transportasi, pengembangan teknologi & informasi, perbaikan &
pengembangan bidang energi listrik.
DAFTAR PUSAKA
Cahyono,
Eddy (2014). "Peningkatan Daya Saing Ekonomi & Peran Birokrasi",
Sumber:
first5000.com
http://ronawajah.wordpress.com/2008/12/01/sumberdaya-manusia-kapan-berkemampuan-kompetitif/